Setelah beberapa bulan yang lalu mengunjungi Curug Cigumawang di Kecamatan Padarincang Serang, kali ini kami berniat untuk bersepeda mengunjungi Curug Putri yang terletak di lereng Gunung Pulosari, tepatnya di Desa Cilentung, Kecamatan Pulosari Pandeglang. Curug Putri berada di jalur pendakian untuk menuju kawah di puncak Gunung Pulosari, dan awal jalur pendakian menuju puncak Gunung Pulosari dapat dimulai dari Desa Cikoneng di Kecamatan Mandalawangi namun yang lebih sering dan lebih ramai adalah melalui Desa Cilentung di Kecamatan Pulosari, Pandeglang. Untuk bersepeda jalur pendakian lebih memungkinkan jika melalui Desa Cilentung karena jika melalui Cikoneng jalurnya berupa hutan tanpa ada jalan setapak, sedangkan dari Cilentung sudah tersedia jalur pendakian berupa jalan paving blok dan disambung dengan jalan setapak berbatu untuk menuju Curug Putri maupun ke kawah di puncak Gunung Pulosari. Mengingat agendanya adalah bersepeda maka kami menyusun jalur sedemikian rupa agar kenikmatan dan manfaat bersepeda dapat diperoleh secara optimal. Untuk itu kami tidak langsung menuju Gunung Pulosari melainkan terlebih dahulu menuju Gunung Karang dengan menyusuri hutan dan pedesaan di lereng Gunung Karang untuk kemudian turun dan kembali mendaki Gunung Pulosari. Sabtu 7 Juli 2012 kami berenam memulai perjalanan tepat pukul 7.30 menuju Curug Putri dengan mengambil start dari Cikole Kecamatan Majasari Pandeglang. Dengan mengayuh pelan-pelan kami menyusuri perkampungan yang tidak terlalu ramai,  jalanan menanjak landai dengan naungan pepohonan rindang dI kiri kanannya. Selang beberapa saat kemudian kami memasuki Desa Ciputri, suasana tidak jauh berbeda dengan desa sebelumnya, hanya kali ini lebih didominasi hijau sawah sejauh mata memandang. Sepeda terus menggelinding dengan kecepatan sedang mengingat jalan aspal yang sempit juga tidak berhenti menanjak.
Ciputri Setelah melewati Kaduaweng jalanan berbelok menuju utara dimana tampak di ujung cakrawala sosok kekar Gunung Karang berdiri menjulang.Keringat yang membanjiri sekujur tubuh mulai tumpah menetes. Kayuhan sepeda beranjak pelan mendaki jalanan yang landai meninggi di lereng Gunung Karang. Aroma wangi cengkeh yang dijemur di sisi sepanjang jalan membangkitkan suasana yang berbeda.
Sukamanah Tiba di Ds Sukamanah kami berbelok ke arah Barat, mengikuti jalan berbatu yang menyelinap di rerimbunan pohon cengkeh dan melinjo. Jalanan semakin meninggi meski kadang diselingi beberapa turunan kecil. Usai melewati kebun cengkeh pemandangan sekitar berubah menjadi hamparan sawah yang berundak-undak mengikuti kontur lereng gunung , deru angin yang sedikit kencang mampu sedikit memupus laju deras peluh yang terus mengucur. Setelah melalui tanjakan panjang kami tiba di Cimalati untuk krmudisn berbelok ke arah Utara untuk kembali menanjak menuju Palupu.
Campaka Udara di sini begitu dingin menusuk kulit meski ketinggiannya hanya kurang dari 600 m di atas permukaan laut. Pelan tapi pasti kayuhan terus berlanjut mengikuti jalanan berbatu yang kiri kanannya lebat ditumbuhi aneka warna bunga yang entah apa namanya. Sesampai di Kaducina kami beristirahat sejenak di sebuah warung kecil untuk sejenak melepas penat sambil menikmati teh manis panas atau kopi panas untuk memulihkan stamina.
Kaducina Sekitar 15 menit kami beristirahat sebelum akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Jalanan berbatu kembali kami lalui untuk mendaki menuju tujuan berikutnya yaitu Pasirpeteuy , desa terakhir di lereng Gunung Karang di sisi Barat Daya. Jalanan sempit berbatu tetap menjadi menu komposisi jalanan yang kami lalui. Warga desa yang kami lalui hampir semuanya ramah menyapa, bertanya tujuannya hendak kemana. Kami pun berusaha membalas sapaan warga meski dengan susah payah karena nafas yang telah terlanjur tersengal-sengal. Beberapa warga yang tampak tengah memetik jambu air juga menawari buah tersebut sembari melempar buah segar itu dari atas pohon. Di satu ruas jalan desa tampak tertutup oleh tenda hajatan warga sehingga kami pun sedikit memutar untuk menghindar.
Pasirpeteuy Jalanan berbatu kembali menghampiri dengan selingan sawah di sela-sela rimbunnya pohon cengkeh di kiri kanan jalan, aroma wangi cengkeh pun menyeruak semerbak di jalan ini. Setelah beberapa saat kami pun memasuki Pasirmuncang, dimana tampaknya dusun ini menjadi dusun tertinggi di lereng bart daya Gunung Karang, ditandai dengan jalanan yang terus menurun dan udara dingin semakin terasa deras menerpa wajah. Memasuki Kecamatan Mandalawangi tampak Sekolah Kepolisian Negara Polda Banten yang sangat luas dengan bangunan-bangunan yang tersebar disertai sarana-sarana latihan fisik ala militer. Kami pun berhenti sejenak di sini untuk sekedar mengambil gambar. Usai berfoto kami melanjutkan perjalanan dengan kontur yang menurun. Dan setelah memasuki Kp Numpi turunan semakin deras sehingga tak ayal lagi sepeda pun semakin melaju menuruni lereng Gunung Karang.
Sekolah Kepolisian Negara Selang beberapa saat kemudian kami tiba di Tapos dan sampai di jalan yang menghubungkan Ciomas dan Mandalawangi. Jalanan mulai agak ramai  dengan kendaraan apalagi sepanjang jalan juga dipenuhi serombongan militer yang sedang latihan hiking dan berjalan gontai mungkin kelelahan sambil menyandang senapan laras panjang, sehingga kami pun harus lebih berhati-hati karena sepeda melaju kencang di jalan menurun ini.
Tapos Sekitar 15 menit kemudian kami pun sampai di Jalan Raya Mandalawangi dan setelah menyeberang jalan ini kami kembali masuk ke jalan desa menuju Cikoneng dimana nampak di latar belakang adalah Gunung Pulosari yang menjadi tujuan akhir kami di Curug Putri. Jalan beraspal yang berlubang disana sini dan tak seberapa lebar kembali kami lalui dengan area persawahan menghijau yang nampak menghampar hingga ke kaki gunung. Sungguh segar udara di desa ini, dan begitu sepi sehingga kami nyaris tidak bersua dengan orang lain. Jalanan kembali menanjak, meliuk membelah persawahan dan terus menanjak hingga sampai di Desa Cikoneng. Sesaat kami sempat kebingungan dan berputar-putar mencari tujuan yaitu Curug Putri karena koordinat yang kami masukkan seharusnya berada di sini, namun setelah terus berputar dan bertanya ke warga setempat barulah kami menyadari bahwa koordinat yang kami masukkan salah, bukan koordinat Curug Putri melainkan titik awal pendakian Gunung Pulosari, memang bakal tembus ke Curug Putri namun harus melewati hutan dan kawah Gunung Pulosari dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki tidak bisa dengan sepeda.
Cikoneng Setelah mendapat keterangan itu kami akhirnya menuju titik pendakian berikutnya yaitu di Desa Cilentung. Kami mengayuh dengan kecepatan sedang meninggalkan Desa Cikoneng melalui jalan desa yang asri ini menuju Kp Gombrang dan terus melewati jalanan yang menanjak landai sejauh kurang lebih 3 km sampai akhirnya tiba di pertigaan jalan yang menuju Desa Cilentung.
Cilentung Di sini kami berhenti sejenak mengisi air minum sambil menunggu teman yang masih di belakang. Suasana di cukup ramai dengan beberapa rombongan pendaki gunung lengkap dengan backpack besar yang menggelayut di punggung mereka masing-masing, suasana gunung semakin kental dengan penampakan puncak Gunung Pulosari yang semakin dekat di depan mata. Kami melanjutkan perjalanan ke gerbang Curug Putri di Desa Cilentung dengan menempuh jalan berbatu yang menanjak sejauh 1.5 km. Setibanya di gerbang kami melapor ke pos penjagaan dan menulis nama serta tujuan akan ke kawah atau ke curug dan membayar tiket masuk Rp.5000,-. Semula petugas melarang kami membawa sepeda ke curug namun setelah bernegosiasi kami pun diijinkan menaiki sepeda menuju curug dengan pertimbangan sepeda tidak akan merusak jalan ke curug, kalau motor apalagi trail pasti merusak, asal kuat gowes ke atas saja, begitu kata petugas. Jalan awal menuju curug berupa jalan setapak yang terbuat dari paving block yang menanjak curam sehingga pelan-pelan kami mengayuh. Tak sampai 100 m jalan paving block pun sirna berganti jalan berbatu besar yang semakin curam. Ini baru mendaki gunung! RD sudah di posisi paling kecil guna mendapat cadence, dan kami sibuk menatap roda depan untuk mencari jalan di sela-sela batu atau jika harus melibas batu pun harus tegak lurus saat melibas punggung batu agar tidak terpelanting. Otot paha sudah bekerja keras menjejak sepeda, deras peluh pun tidak hanya membasahi kaos melainkan juga membasahi batu-batu jalanan yang dilalui. Beberapa kali kami berhenti untuk mengambil nafas, udara dingin yang menerpa tidak mampu menghentikan laju keringat yang terus bersekresi dari celah pori-pori kulit.
Makan siang Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 kami pun berhenti sejenak untuk makan siang di tengah jalan berbatu sambil menikmati suasana hutan di Gunung Pulosari ini. Beberapa rombongan pendaki gunung pun tampak beristirahat tak jauh dari tempat kami berada. Setelah makan siang tenaga terasa pulih sehingga jarak yabg tersisa menuju Curug Putri dengan tanjakan yang menggila bisa kami atasi.