Laga pembuka Liga 1 musim 2020 sudah berlangsung, Sabtu (29/2/2020) sore. Tuan rumah Persebaya ditahan tamunya Persik Kediri. Pertandingan yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) berakhir imbang, (1-1). Pertandingan kemarin adalah pertemuan bersejarah. Mengingat, keduanya sempat dibayangi memori kelam sepakbola Indonesia yang ketika itu bernama Liga Super Indonesia (LSI) musim 2010. Pertemuan kemarin juga merupakan pertandingan perdana setelah 10 tahun kedua tim tidak bertemu di kompetisi resmi.
Penulis coba merangkai kembali memori kelam itu. Pada 5 Agustus 2010, suasana Mes Eri Erianto terlihat tegang. Manajer tim ketika itu Gede Widiade sibuk dengan ponselnya. Wajahnya terlihat tegang. Bagaimana tidak, laga terakhir di kompetisi antara Persebaya vs Persik adalah laga hidup mati. Jika ingin lolos degradasi, Persebaya harus menang minimal, (3-0). Persik lebih berat lagi. Macan Putih harus menang (5-0). Jika tidak, keduanya akan degradasi. Siapa yang diuntungkan jika keduanya degradasi? Tentu saja Pelita Jaya. Sebab, mereka akan melakoni laga play off dengan Persiram Raja Ampat.
Setelah selesai menelpon Mahrus Afief, pelatih kiper yang ketika itu berada di Kediri usai melakukan technical meeting (TM), Gede kemudian memerintahkan bus tim berangkat. Gede dan pelatih Persebaya, Rudy William Keltjes dan asisten pelatih Ibnu Grahan menggunakan mobil mengiringi dari belakang. Saya dan Rahmad Kurniawan, wartawan Jawa Pos berada dalam satu mobil dengan Gede.
Sepanjang perjalanan, Gede terlihat tegang. Ia tahu bahwa Persebaya tengah dikerjai habis-habisan oleh PSSI dan PT Liga, operator kompetisi tertinggi di Indonesia ketika itu. Tapi meski tahu dikerjai habis-habisan, pria keturunan Bali itu tidak menyerah. Ia akan berjuang maksimal. Ketika sampai di Jombang, bus berhenti. Gede memerintahkan para pemain untuk turun dan makan siang di rumah makan Perak. Sedangkan kami melanjutkan perjalanan ke Kediri. Tujuannya adalah Polresta Kediri untuk menanyakan langsung terkait ijin pertandingan di Stadion Brawijaya, Kediri.
Sampai di Polresta Kediri, AKBP Rasta Gunawan mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa mengeluarkan ijin pertandingan. Alasannya, sangat beresiko terkait keamanan jika pertandingan digelar. Karena, saai itu, Bonek sudah menghijaukan Stadion Brawijaya. Setelah adu argumen, kami akhirnya meninggalkan Polresta Kediri hanya beberapa jam sebelum kick off 15.30 WIB yang semestinya dilakukan.
Gede kemudian menelpon tim Persebaya yang saat itu masih makan siang di rumah makan Perak, Jombang. Ia lalu memerintahkan tim untuk balik ke Surabaya karena yakin pertandingan tidak akan bisa digelar. Kami kemudian memilih meninggalkan Kediri. Karena sejak pagi belum sarapan dan waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB, Gede mengajak kami mencari makan. Pak Maliki yang ketika itu menjadi driver langsung tancap gas mencari rumah makan.Â
Sayangnya, Maliki yang dijuluki driver andalan malah nyasar. Kami melawati jalanan sepi yang kanan-kirinya ditumbuhi tanaman tebu. Setelah kurang lebih satu jam, kami akhirnya menemukan warung sate dan gule kambing. Saking laparnya, sebelum makanan terhidang, tidak terasa setengah kaleng krupuk habis kita makan. Kami hanya tertawa ketika isi krupuk berkurang banyak. Sate dan gule yang terhidang kemudian kita santap ramai-ramai.
Sebelum meninggalkan warung, Gede memanggil Bonek yang baru saja pulang dari Stadion. Bonek itu seolah mendapatkan durian runtuh. Mereka disangoni Gede pecahan 50 ribu-an lima lembar. Senang dan girang, Bonek tersebut kemudian mencium tangan dan berpamitan. Kami lalu balik ke Surabaya dengan tangan hampa dan kenyataan pahit bahwa Persebaya pasti degradasi karena telah dikerjai di Kediri dan akan selalu kami ingat sebagai memori kelamnya sepakbola Indonesia.
PT Liga yang diwakili Presiden Direktur, Andi Darussalam Tabusalla ketika itu mengatakan laga akan dijadwal ulang. Padahal, berdasarkan manual Liga saat itu (Pasal 6 ayat 26) menyebutkan, jika tim kandang gagal menggelar pertandingan, hukumannya adalah kemenangan Walk Out (WO) 3-0 untuk tim tandang. Dalam hal ini, Persebaya seharusnya mendapatkan tiga poin dan kemenangan, 0-3 dari Persik. Otomatis dengan kemenangan itu, Green Force lolos dari degradasi dan bertahan di Liga Super, kompetisi tertinggi sepakbola Indonesia kala itu.
Alih-alih mendapatkan tiga poin, PT Liga justru menjadwalkan lagi laga kandang. Alasannya, Persik mengajukan banding dan PT Liga mengabulkannya. Jadwal ulang laga Persebaya melawan tuan rumah Persik dilangsungkan 8 Agustus 2010 di Stadion Jaka Baring, Palembang. Persebaya yang sudah lelah karena 'dijur' habis-habisan oleh PSSI dan PT Liga, memutuskan tidak berangkat ke Palembang.Â
Tidak datang ke Palembang, Persebaya dinyatakan kalah 3-0. Meski mendapatkan tambahan tiga poin, Persik gagal bertahan di Liga Super meski sama-sama mengoleksi poin sama dengan Pelita Jaya namun kalah dalam selisih gol.
Sebelumnya, pertandingan gagal digelar di Kediri pada 29 April, 7 Mei dipindahkan ke Jogjakarta dan lagi-lagi gagal digelar dan terakhir 5 Agustus di Kediri. Tujuannya dari skenario itu jelas yaitu menyelamatkan Pelita Jaya.
Kini setelah 10 tahun, Persebaya dan Kediri akhirnya kembali bertemu di kompetisi kasta tertinggi sepakbola Indonesia, Liga 1. Pertandingan 'damai' dengan skor (1-1) seolah menjadi penanda bahwa kedua tim adalah korban kezaliman pengurus PSSI dan operator Liga di jaman itu. Skor sama kuat juga sebagai tetenger bahwa dua tim asal Jawa Timur ini tidak pernah menyerah dalam berkompetisi demi kemajuan sepakbola nasional. Mengingat, pasca memori kelam 2010, baik Persebaya dan Persik harus berjuang di level kedua bahkan Persik sempat mencicipi kerasnya Liga 3. Bravo Persebaya, Bravo Persik.
Harapannya tidak ada lagi tipu muslihat dan kezaliman seperti yang dialami oleh kedua tim. Apalagi, saat ini PSSI dipimpin oleh Mochmad Irawan, SH, MM, MH, perwira tinggi Polri. Pria yang karib disapa Iwan Bule via Satgas Anti Mafia Bola itu juga mendengungkan perang terhadap pengaturan skor, judi bola atau apa pun yang bisa mencederai kompetisi sepabola nasional. Semoga ke depan sepakbola Indonesia lebih baik dan maju. Tidak ada lagi skenario buruk dan memori kelam di sepakbola Indonesa. Maju terus sepakbola Nasional. Bravo sepakbola Indonesia. (*)
(*) Penulis adalah wartawan Radar Surabaya (Jawa Pos Grup) ketika itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H