Ketika mimpimu yang begitu indah'Tak pernah terwujud, ya sudahlahSaat kau berlari mengejar anganmu
Dan 'tak pernah sampai, ya sudahlah, hmm (Bondan Prakoso & fade to black).
Itu juga yang terjadi di laga final Piala Gubernur Jawa Timur (PGJ) 2020. Final yang mempertemukan Persebaya vs Persija di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Kamis (20/2/2020) berakhir anti-klimaks bagi Persija.
Tidak pernah tersentuh kekalahan selama fase penyisihan hingga babak semifinal Macan Kemayoran kalah 1-4 dari Persebaya.Â
Tapi bukan kekalahan sebenarnya yang disesali pecinta sepakbola utamanya The Jak pendukung Persija. Melainkan kepada kinerja pengadil lapangan hijau. Wasit dengan kasat mata mencabik-cabik asa Persija yang notabenenya tim undangan membawa Piala PGJ ke Jakarta.
Coba tengok bagaimana pelanggaran tidak terlalu berbahaya yang dilakukan oleh Ryuji Utomo. Wasit tanpa ba-bi-bu langsung mencabut kartu merah. Keputusan yang sangat disayangkan. Meski dilihat dari kacamata awam, apa yang dilakukan wasit kurang tepat.
Bila dibandingkan dengan sikutan yang dilakukan Makan Konate terhadap Marko Simic, jelas lebih berbahaya. Tindakan mantan pemain Arema itu sangat berbahaya dan jelas disengaja. Tapi toh, Konate hanya diberikan kartu kuning. Edan.
Sejak memasuki fase semifina, turnamen pramusim PGJ 2020 tak bertaji lagi. Panpel melakukan keputusan yang merugikan tim-tim semifinalis. Diantara pertandingan tanpa penonton hingga perubahan venue pertandingan.Â
Buntutnya, keributan pendukung Persebaya dan Arema tak terelakkan. Rusaknya kota Blitar telah mencederai sepakbola yang seharusnya untuk hiburan. Hiburan murah bagi masyarakat. Tapi di lapangan justru sebaliknya. Sepakbola berubah menjadi mencekam. Seolah-olah PGJ adalah ajang yang sangat prestisius. Padahal levelnya cuma turnamen pramusim. Duh.
Puncaknya partai final, The Jak tidak diberikan kuota tiket. Padahal tim kesayangan mereka lolos ke final. Di luar prediksi memang. Marko Simic cs yang notabenenya tim undangan melaju mulus ke babak final. Sangat tidak fair. Â Panpel hanya mencetak 24 ribu lembar tiket dan semuanya hanya untuk suporter Persebaya. Padahal Persebaya bukan tuan rumah. Tuan rumahnya Arema dan Madura United. Apa mau di kata, Persija seolah tersandera. Bermain tanpa didukung suporter mereka masih bisa mangaum meski di babak pertama Ryuji harus out karena kartu merah yang tak pantas ia peroleh. Macan akhirnya tumbang dengan skor akhir 4-1.Â
Sekali lagi bukan kekalahan yang mereka sesali bukan saya jelas tahu itu. Mereka menyesal kenapa Panpel berlaku tidak adil. Apakah Piala PGJ tidak boleh jatuh ke tim undangan? Apakah tim tamu tidak boleh juara?
Segudang pertanyaan itu jelas ada di benak pemain dan pendukung Persija. Jika demikian, ambil saja piala itu sebelum kick off dilakukan. Persija tidak butuh Piala. Mereka hanya butuh diperlakukan adil. Karena sejatinya sepakbola menjunjung tinggi nilai sportifitas di dalamnya.
Ini baru turnamen pramusim. Belum Liga 1 yang bergulir akhir bulan ini. Sudah siapkan semuanya untuk menata sepakbola Indonesia menjadi lebih baik.
Kalau sekelas turnamen saja kacau bagaimana Liga nanti?
Tugas kita bersama untuk saling mengingatkan dan menjaga sepakabola Indonesia. Apalagi Indonesia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia junior FIFA. Kalau bukan kita semua, siapa lagi? Hidup sepakbola Indonesia. (Eko Yudiono)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H