Penguatan Operasionalisasi KPH untuk Kelestarian Hutan (dok/HumasKLHK)
P3E Suma-KLHK (Jakarta, Minggu, 23 September 2018)- Dalam rangka menjaga kelangsungan fungsi hutan, perlu dilakukan upaya memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan. Upaya ini merupakan bagian dari operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai unit pengelola hutan di tingkat tapak.
Sebagai bentuk evaluasi pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), KLHK melaksanakan Rapat Evaluasi Perkembangan Operasionalisasi KPHP Tahun 2018 di Yogyakarta beberapa waktu lalu, yang dipimpin langsung oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), Hilman Nugroho.
 "KPH harus memiliki kemampuan manajerial, untuk memanfaatkan secara optimal aset yang dimiliki di wilayahnya, dan punya kemampuan memasarkannya untuk mencapai kemandiriannya, dengan menentukan tujuan dan sasaran KPH, Desain Bussiness Plan, dan implementasinya, melalui Prinsip 6 M (Money, Manpower, Material, Methods, Machine dan Marketing)," jelas Hilman saat membuka acara.
Evaluasi KPHP dilakukan melalui pendekatan 4 (empat) indikator kemandirian KPHP, yaitu meningkatnya pendapatan masyarakat yang menjadi mitra KPHP, meningkatnya nilai investasi usaha produktif di wilayah KPHP, berkurangnya jumlah gangguan/konflik di wilayah KPHP, dan menurunnya tingkat deforestrasi dan degradasi hutan di wilayah KPHP.
Â
Disampaikannya, tantangan pengelolaan hutan ke depan adalah, bagaimana mengusung perubahan paradigma dari Timber Oriented ke arah Non Timber Oriented dalam pengelolaan kawasan hutan negara.
 "Dengan menurunkan beberapa kewenangan hingga ke tingkat tapak, menjadi obat mujarab bagi penyakit kronis yang diderita kehutanan," lanjutnya.
Hilman juga menegaskan, agar kegiatan KPH mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 jo PP. No. 3 Tahun 2008, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Kegiatan ini meliputi tata hutan dan penyusunan RPH, pemanfaatan hutan, penggunaan Kawasan Hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, serta perlindungan hutan dan konservasi alam.
Sebagaimana dicontohkan Hilman, Indonesia memiliki hutan seluas 120 juta ha, dengan luas lahan kritis: 24,3 juta ha (20%), sementara kemampuan pemerintah melaksanakan RHL hanya seluas 500.000 ha/tahun. Dengan demikian, diperlukan waktu selama 48 Tahun dalam penyelesaiannya.
Terkait hal tersebut, serta fenomena bencana alam yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, Hilman menekankan, upaya pencegahan dan penanggulangan bencana alam adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat, terlebih institusi KPH, sesuai Peraturan Menteri LHK No.P.74/MenLHK/Setjen /Kum.1/8/2016.
Pembangunan KPH sudah diamanatkan dalam dokumen perundang-undangan sejak Tahun 1967, tetapi sampai saat ini upaya untuk mewujudkan KPH beroperasi masih banyak menemui kendala.
"Berbagai kampanye, diskusi, seminar, serta dukungan kebijakan hingga fasilitasi operasionalisasi oleh Pemerintah, telah dilakukan, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Rapat ini merupakan momen penting bagi seluruh komponen punggawa KPH, bersinergis menyatukan visi dan misi membangun hutan," pungkas Hilman.
Dalam rapat yang dilaksanakan selama tanggal 21-22 September 2018 ini, sekitar 300 peserta hadir, terdiri dari pejabat Eselon II KLHK, Kepala Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan, Kepala Balai Pemanfaatan Hutan Produksi, dan Kepala KPH seluruh Indonesia. Setelah rapat evaluasi, KLHK juga akan melaksanakan Pameran Usaha Kehutanan (PUSAKA) pada tanggal 28-29 September 2018, di Mangunan, Yogyakarta.(*)
Sumber berita:
Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H