Pada semu program studi pendidikan seni tari di Lembaga perguruan tinggi memiliki mata kuliah Tari Pendidikan. Mata kuliah ini secara konten dan konteks membahas tentang proses pembelajaran tari pada setiap jenjang pendidikan dimulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA), yang tentu berbeda dari setiap jenjang, tetapi memiliki kesamaan yaitu tari. Persoalan kemudian muncul ketika tari sebagai konten diberikan pada setiap jenjang, karena tari memiliki unsur sama untuk jenjang kelas manapun. Persoalan ini kemudian menjadi miskonsepsi baik secara konten maupun konteks proses pembelajaran terutama pada jenjang anak usia dini. Proses pembelajaran pada anak usia dini, apapun kontennya jangan sampai terjadi miskonsepsi karena merupakan masa emas pada pertumbuhan dan perkembangan otaknya. Pada kajian ini anak usia dini yang dimaksud adalah usia 6 sampai 9 tahun, atau kelompok B pada PAUD dan kelas III SD. Masa ini merupakan masa emas dalam perkembangan berpikirnya, tetapi sering proses pembelajaran menjadi miskonsepsi terutama yang berhubungan dengan tari.
Estetika
Miskonsepsi yang sering terjadi adalah estetika sebagai tujuan dalam proses pembelajaran tari anak usia dini. Miskonsepsi ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang makna estetika pada perkembangan anak usia dini. Pada tahapan ini anak belum mengenal makna dan arti estetika, bahkan pada usia remaja sampai orang tua kurang memahami makna dan arti estetika pada karya seni. Pembelajaran tari anak usia dini sebaiknya menghindari tujuan estetika, karena yang memahami estetika gurunya. Laban seperti dikutip oleh Smith (1985) menyatakan bahwa di sekolah di mana pendidikan seni diterapkan, ternyata bukan perfeksi artistic atau kreasi pentas sensasional yang diusahakan, tetapi efek faedah kegiatan kreatif tari pada diri pribadi murid atau siswa. Proses pembelajaran seni tari pada anak usia dini lebih menekankan pada kegiatan kreatif tari, bukan pada estetika. Proses pembelajaran menekankan pada dampak dari aktvitas yang telah dilakukan, misalnya meningkatkan kemampuan berpikir imajinatif terhadap gerak yang dilakukan.
Miskonsepsi sering terjadi pada pengembangan ragam gerak tari anak usia dini. Gerak sebaiknya dilakukan dengan menggunakan teknik yang mudah dipahami, sehingga setiap anak dapat melakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada tari anak usia dini sering dijumpai gerak yang kompleks, artinya detail dan teknik yang mungkin belum dapat dilakukan seusianya. Tari sering tampil layaknya usia dewasa. Pembelajaran tari sebenarnya merupakan instrumen atau media bagi anak untuk mengembangkan cara berpikir kreatif, logis, dan kritis sesuai dengan perkembangan usianya. Gerak tari sebaiknya banyak dilakukan di tempat. Melakukan gerak di tempat dapat lebih mudah anak memahami volume atau bentuk keruangan, mana gerak yang memerlukan volume atau keruangan secara luas, sempit, atau kombinasi keduanya. Level dapat dilakukan melalui duduk, setengah berdiri, dan berdiri. Ragam gerak berpindah tempat lakukan dalam bentuk berlari atau berjalan tanpa harus melakukan gerak. Pada saat berlari atau berjalan siswa hanya merentangkan tangan atau bentuk lainnya. Gunakan metode bermain sambil menari, sehingga lebih menyenangkan pada proses pembelajaran.
Sosial Emosional
Miskonsepsi proses pembelajaran tari anak usia dini sering kurang menekankan pada kemampuan sosial emosional anak secara optimal dan maksimal. Kondisi ini terjadi karena guru lebih fokus pada kemampuan estetika atau gerak. Sosial emosional dapat dilakukan oleh guru melalui tema yang akan dikembangkan melalui gerak tari. Tema ini dapat dijadikan sebagai alat atau media mengeksplorasi gerak. Contoh, guru meminta anak untuk membayangkan melakukan seekor kelinci yang sedang kedinginan. Anak-anak kemudian diminta melakukan gerak seolah menjadi seekor kelinci ketika kedinginan. Setiap anak tentu akan melakukan ragam gerak yang berbeda. Ada beberapa dampak ketika metode ini dilakukan, yaitu anak dapat mengembangkan daya imajinasi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk gerak, anak dapat memahami tentang bagaimana rasa dingin itu datang. Melalui pembelajaran seperti ini diharapkan berdampak munculnya rasa empati, simpati, dan mau berbagi dengan lingkungan sekitar, baik dengan teman sebaya atau makhluk hidup lainnya. Kepekaan rasa dilatih sejak dini melalui tari.
Tari Pendidikan
Program studi pendidikan tari yang mengembangkan mata kuliah tari pendidikan perlu melakukan revitalisasi kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan anak usia dini. Proses pembelajaran pada anak usia dini harus mampu mengembangkan kemampuan berpikir, sosial emosional, fisik motorik, kemampun berkomunikasi, serta aspek seni sebagai media atau instrumen untuk mengembangkan kemampuan itu semua. Tata rias dan busana pada tari anak usia dini bukan unsur estetika yang diutamakan, tetapi lebih menekankan pada kemampuan anak "menjadi" seperti tari yang akan dilakukan. Kemampuan "menjadi" inilah yang dapat dikembangkan pada konsep diri yang kuat sesuai dengan potensi yang dimiliki dan perkembangan mental serta usianya.
Daftar Bacaan
Ismail, Radjiman (2021) Model dan Strategi Pembelajaran Sekolah Dasar Anak Usia Dini, Bogor: Sinar Artha Pustaka Indonesia.
Smith, Jacqueine (1985) Komposisi Tari: Sebuah Petunjuk Praktis Bagi Guru, Terjemahan Ben Suharto, Yogyakarta: Ikalasti.
____ (2010) Dance Composition: A Pratical Guide to Creative Succes in Dance Making, London: Methuen Drama.
Yetti, Elindra, Eko Purnomo (2022) Tari Pendidikan Paradigma Baru Melejitkan Potensi Anak, Bogor: Sinar Artha Pustaka Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H