Pendidikan seni pada struktur kurikulum nasional diberikan sejak jenjang pendidikan anak usia dini hingga pendidikan menengah, yaitu jenjang sekolah menengah atas (SMK) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) dan yang sederajat. Pendidikan seni pada sekolah formal bertujuan agar setiap peserta didik memiliki kemampuan untuk melakukan apresiasi dan kreasi seni sesuai dengan minat dan potensi yang dimiliki. Ada dua kata kunci penting dalam pendidikan seni, yaitu kreasi dan apreasiasi. Pada tataran kreasi diberikan keleluasaan kepada peserta didik yang memiliki potensi seni mencipta sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki. Peserta didik yang memiliki bakat pada bidang seni rupa dapat mencipta dua dan tiga dimensi dengan menggunakan berbagai macam media, teknik, dan bahan. Peserta didik yang memiliki potensi pada bidang seni musik dapat mencipta lagu atau bunyi sehingga tercipta nada dan irama sesuai dengan kaidahnya. Peserta didik yang memiliki kemampuan pada kecerdasan kinestetik dapat mencipta tari sederhana, dan yang memiliki potensi seni peran dapat menciptakan cerita-cerita untuk ditampilkan dengan tokoh sesuai dengan imajinasinya. Peserta didik yang kurang memiliki kemampuan mencipta dapat melakukan apresiasi baik karya seni hasil ciptaan teman sebaya atau karya seni lainnya. Kedua kemampuan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembelajaran seni pada setiap jenjang pendidikan. Â Kemampuan melakukan apreasi dan kreasi merupakan hasil belajar dari pendidikan seni, tetapi sebagai sebuah proses pendidikan, pendidikan seni haruslah berdampak pada hal lain, terutama mental peserta didik.
Kesehatan mental yang baik berdampak pada cara pikir yang positif, sehingga dapat memecahkan masalah yang dihadapi secara baik dan benar. Pendidikan seni tari yang diberikan sejak usia dini, dapat menjadi instrumen, media, wahana, bagi anak untuk melatih diri menjaga dan mengembangkan kesehatan mental. Kesehatan mental tidak dapat dilakukan serta merta tetapi dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan sesuai dengan perkembangan anak. Masa paling penting mulai dilakukan pembelajaran kesehatan mental sejak usia dini. Pada usia ini merupakan masa emas perkembangan berpikir secara intelektual dan sosial emosional. Bagaimana pendidikan seni dapat menjadi instrumen atau media proses pembelajaran kesehatan mental?
Gerak merupakan elemen dasar tari. Gerak yang dilakukan berhubungan dengan fungsi otak. Semiawan (1997) menjelaskan tentang hubungan antara gerak tubuh pada bagian kiri berhubungan dengan fungsi otak pada bagian kanan, dan gerak tubuh bagian kanan berhubungan dengan fungsi otak bagian kiri. Kedua belahan otak kanan dan kiri memiliki fungsi yang berbeda. Seseorang ketika melakukan ragam gerak tari, maka kedua belahan otak berfungsi secara bersama-sama. Kemampuan berpikir otak kanan dan otak kiri secara berkesinambungan berdampak pada kecerdasan yang dimiliki. Gadner (1983) Â setidaknya memberikan tujuh jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan musikal, kinestetik, visual spasial, logis matematis, interpersonal, intrapersonal dan linguistik. Pada proses pembelajaran tari ketujuh kecerdasan ini merupakan bagian penting dan utuh, hanya penekanan kecerdasan yang berbeda. Pada tari penekanan kecerdasan pada kinestetik, musikal, interpersonal dan intrapersonal, walaupun ada linguistik gerak sebagai bahasa nonverbal; visual spasial karena gerak yang dilakukan memiliki ruang, dan juga logis matematis.Â
Kesehatan mental pada anak usia dini lebih menekankan pada kemampuan ekspresi diri, konsep diri, menghargai diri dan lingkungan, serta mampu menerima diri dan lingkungan secara sadar. Kemampuan ini dapat dilakukan melalui eksplorasi gerak yang dilakukan oleh anak. Pada saat melakukan eksplorasi gerak inilah kesadaran akan ekspresi diri dapat dikembangkan secara maksimal dan optimal. Anak ketika melakukan eksplorasi dengan teman sebaya, secara tidak langsung dilatih kemampuan untuk menghargai orang lain, serta menerima kelebihan dan kekurangan teman sebaya. Interaksi sosial dengan konsep memiliki kesetaraan merupakan salah satu cara mengembangkan kesehatan mental. Pendidikan seni tari sangat memungkin menjadi media pembelajaran kesehatan mental pada anak usia dini karena dilakukan secara tematik. Pembelajaan tematik pada anak usia dini menyatukan secara utuh tujuan pembelajaran pada bidang pengembangan fisik motorik, sosial emosional, kognitif, serta seni.Â
Refleksi pembelajaran yang dilakukan oleh anak merupakan bagian tak terpisahkan dari proses kesehatan mental, karena melalui refleksi anak dapat mengungkapkan perasaan dan pikiran yang ingin disampaikan. Â Pada proses pembelajaran pendidikan seni tari yang menekankan pada kesehatan mental sering diistilah tari sebagai body, Â mind, and Soul. Tubuh, pikiran, dan jiwa merupakan satu kesatuan utuh dalam proses pembelajaran tari. Keutuhan dari ketiga konsep ini berdampak pada kesehatan mental. Hal inilah pendidikan seni dapat dijadikan sebagai media terapi baik yang berhubungan dengan fisik atau tubuh, pikiran, dan jiwa atau mental.Â
Daftar Bacaan
Fraser, Diane Lynch (1991) Play Dancing, New York: Princenton Book Company, publishers.
Gadner, Howard (1983) Frame of Mind, New York: Basicbook.
Kartini, Kartono (2015) Patologi Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Semiawan, Conny R (1997) Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, Jakarta: Grasindo.
Yetti, Elindra, Eko Purnomo (2022) Tari Pendidikan Paradigma Baru Melejitkan Potensi Anak, Bogor: Sinar Artha Pustaka Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H