Mohon tunggu...
Ungkap Tabir
Ungkap Tabir Mohon Tunggu... Lainnya - Faktual dan Terpercaya

Mari Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dunia Melawan Rasisme, Bagaimana di Indonesia ???

5 Juni 2020   00:42 Diperbarui: 8 Juni 2020   00:57 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu rasisme menjadi perbincangan dunia pada saat ini. Hal tersebut diakibatkan terbunuhnya seorang warga kulit hitam Amerika, George Floyd, oleh seorang polisi berkulit putih di Minneapolis, negara bagian Minnesota, Amerika Serikat.

Rasisme menurut Alo Liliweri (2018; 81) adalah diskriminasi dan prasangka terhadap orang berdasarkan ras atau etnis mereka. Lebih lanjut lagi, Liliweri menjelaskan rasisme dapat hadir dalam tindakan sosial, praktik, atau sistem politik (misalnya, apartheid) yang mendukung ekspresi prasangka atau keenganan dalam praktik diskriminatif.

Dikutip dari tirto.id, polisi bernama Derek Chauvin menempatkan lutut kirinya di antara kepala dan leher Floyd. Floyd meminta tolong serta mengatakan tak bisa bernapas dan tubuhnya tak lagi responsif setelah berada di posisi tersebut selama enam menit. Tapi Chauvin tidak berdiri sepanjang delapan menit 46 detik. Floyd meninggal satu jam setelah kejadian. 

Kematian Floyd memicu protes besar-besaran di Amerika Serikat. Terjadi aksi demonstrasi yang berujung penjarahan toko. Tidak hanya di Amerika Serikat, CNN Indonesia melaporkan bentrokan terjadi antara polisi dan demonstran di Paris, Prancis, dalam unjuk rasa antirasisme yang diikuti sekitar 20 ribu orang pada Selasa (2/6).

Masyarakat Indonesia juga menaruh simpati kasus rasisme terhadap George Floyd. Meskipun tidak melakukan aksi demonstrasi seperti di Amerika Serikat, masyarakat Indonesia menunjukkan simpatinya melalui media sosial. Banyak yang menuliskan kepedulian mereka dan mengecam aksi rasisme tersebut.

Lantas bagaimana kasus rasisme di Indonesia sendiri? Tidak beda jauh dengan yang terjadi di Amerika Serikat, di Indonesia rasisme masih kerap terjadi. Aksi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Pulau Jawa salah satunya. Hasil wawancara BBC News Indonesia terhadap mahasiswa Papua menjadi bukti rasisme yang mereka alami. Dalam wawancara tersebut, salah seorang mahasiswi, Anastasya Marian, bercerita bahwa dosennya pernah mengatakan "Kenapa kalian orang Papua badannya bau, dekil, terus ketika kami mengobrol kami susah untuk bernapas?'.

Tak sampai di situ, kesulitan mencari kamar kos menjadi sebuah pengalaman baginya.  "Ada tulisan kos-kosan, tapi mereka tidak terima saya. Mereka bilang kos-kosannya sudah penuh dan tidak bisa mereka terima orang Papua," kata Anastasya. Sebutan tidak pantas pun kerap kali mereka terima. Padahal niat mereka ingin belajar untuk memajukan daerahnya. Seperti yang diketahui, sumber daya alam di Papua sangat berlimpah.

Bahkan Presiden  pertama Indonesia, Ir. Soekarno menyadari pentingnya Irian Barat (sekarang disebut Papua) bagi Indonesia. Soekarno dalam pidatonya di Palembang, 10 April 1962 yang berjudul "Seluruh Rakyat dari Sabang sampai Merauke Bertekad Membebaskan Irian Barat dalam Tahun ini juga" mengatakan "Tidak perduli PBB bahkan meskipun meminjam tangannya setan, aku tidak perduli. Ya, meskipun tangannya setan. I do not care. I do not mind, asal Irian Barat pada tahun '62 ini juga kembali kepada kita, kepada Indonesia,". Akhir tahun 1961, Operasi Trikora dilakukan sebagai upaya menggabungkan Irian Barat dengan Indonesia. Padahal tahun 1960-an perkenomian negara mengalami kemunduran. Keuangan semakin terguncang akibat dari anggaran yang tersedot akibat gerakan tersebut (van Zanden dan Marks 2012).

Jauh sebelumnya, tindakan rasisme dialami oleh masyarakat pribumi pada masa kolonial. Seperti yang diilustrasikan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Bumi Manusia, orang Eropa (Belanda) kerap kali menyebut orang pribumi dengan kata 'monyet'. Orang Eropa juga memandang derajat mereka lebih tinggi dari orang pribumi.

Tak hanya dua contoh diatas, etnis Tionghoa pun kerap kali menjadi korban rasisme. Contohnya pada kerusuhan 1998, masyarakat etnis Tionghoa menjadi target kebencian masyarakat Indonesia. Di tahun itu etnis Tionghoa menjadi korban kekerasan, penjarahan, dan diskriminasi. Terjadi tindak pemerkosaan terhadap wanita etnis Tionghoa. Munculnya istilah 'pribumi' dan 'cina' menjadi hal yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia.

Masalah rasisme di Indonesia seolah-olah telah menjadi suatu 'kebiasan' dikarenakan terus ada setiap rezimnya. Stereotip masyarakat Indonesia telah terbangun akibat kebiasaan tersebut. Cara pandang tersebut menjadi dasar dalam menilai rasis masyarakat tersebut. Ada yang menganggapnya sebagai candaan satu sama lain. Beberapa tidak keberatan, tetapi ada pula menjadikannya hal yang serius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun