Mohon tunggu...
Eko Setiawan
Eko Setiawan Mohon Tunggu... -

Mari berdiskusi tentang media, sosial, kebudayaan dan birokrasi. Juga tentang film, buku dan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Soekarno: Sahabat, Ideologi dan Cinta

16 Desember 2013   11:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:52 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang tidak mudah mengangkat seorang tokoh besar dalam film. Merangkum kehidupan sang tokoh hanya dalam durasi beberapa jam memang bukan hal mudah. Tapi film Soekarno karya Hanung Bramantyo yang tayang di bioskop mulai tanggal 11 bulan 12 tahun 2013 ini adalah salah satu yang terbaik dalam hal ini. Sosok Bung Karno digambarkan Hanung dengan baik, lengkap dengan kontroversi pernikahannya dengan Fatmawati, konflik dengan sejawatnya Soetan Sjahrir—dan tentu saja dengan para pemuda Menteng 31—hingga berbagai pesan ideologis. Untuk itu ijinkan saya menuliskannya dalam uraian yang cukup panjang kali ini.

Lebih dari itu semua, film ini sebenarnya adalah film yang sangat baik untuk mengedukasi masyarakat tentang sejarah perjuangan para founding father dalam mendirikan republik ini. Diperlihatkan dengan sangat gamblang bagaimana Soekarno, Hatta dan Sjahrir berdebat hebat tentang posisi apa yang harus mereka ambil ketika Jepang mengambil alih Indonesia dari Belanda: kooperasi atau non-kooperasi. Soekarno dan Hatta memilih yang pertama, dan Sjahrir memilih yang kedua. Beda pilihan tapi satu tujuan: Indonesia Merdeka.

Pilihan yang menentukan pola perjuangan mereka lengkap dengan tantangannya masing-masing. Pilihan kooperasi berdampak pada cap sebagai antek Jepang, kolaborator, pengecut, hingga pengkhianat yang dilekatkan pada mereka. Memilih non-kooperasi berarti harus bergerak di bawah tanah, sedapat mungkin menghindari senapan para kempetai yang selalu mengintai.

Debat Antar Sahabat

Perbedaan pilihan perjuangan membuat mereka kerap bertentangan pendapat—terutama Sjahrir dan Soekarno—seperti ketika Sjahrir mendesak Soekarno dan Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sjahrir yang mendengar berita di radio internasional bahwa Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom sangat yakin Jepang akan segera kalah dalam Perang Dunia II. Menurut Sjahrir, inilah momen terbaik untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia namun Dwitunggal itu menolak. Mereka masih memegang janji Jepang di Saigon, Vietnam yang akan memberikan kemerdekaan Indonesia tepat pada tanggal 24 Agustus 1945.

Namun janji Jepang tinggal janji, mereka yang akhirnya menyerah pada Sekutu pada 15 Agustus 1945 menolak untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Sebab sudah berjanji akan menyerahkan semuanya kepada Sekutu, termasuk Indonesia. Hatta yang kalem itu bahkan sampai menggebrak meja saking geramnya. Namun duo sobat karib ini masih belum mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia karena mempertimbangkan kondisi keamananan. “Saya ingin memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa pertumpahan darah,” tegas Soekarno yang takut terjadi chaos jika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada situasi yang tidak menentu pada saat itu.

Sampai kemudian Ahmad Soebardjo—anggota BPUPKI yang kemudian bersama Soekarno dan Hatta ikut merumuskan teks proklamasi—menjemput dua tokoh ini dari “penculikan” para pemuda di Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945, untuk mengabarkan bahwa Jepang benar-benar telah menyerah pada Sekutu sehari sebelumnya dan kondisi keamanan sangat kondusif.

Oiya, tentang “penculikan” yang dimotori para pemuda seperti Wikana, Sukarni, Chaerul Saleh dan lain-lain ini tidak sedikit pun mendapatkan dukungan dari Sjahrir, walaupun Ia memilih jalan yang berbeda dengan Soekarno-Hatta. Sjahrir bahkan dengan gaya meledak-ledak meminta para pemuda untuk segera mengembalikan Soekarno-Hatta ke Jakarta. Sjahrir menegaskan bahwa satu, dua bahkan tiga orang Sjahrir pun tidak akan mampu menggantikan Soekarno-Hatta. Diam-diam Sjahrir mengakui bahwa Soekarno lah yang bisa memenangkan hati rakyat bukan dia, bahkan juga bukan Hatta. Soekarno pun diam-diam segan dengan Sjahrir. Ia yakin akan ditertawakan Sjahrir jika Sjahrir tahu Jepang menolak untuk memenuhi janji kemerdekaan mereka. Untung ada Hatta yang menenangkan.

Pertentangan tiga sahabat ini ternyata tidak kunjung selesai bahkan setelah Indonesia merdeka. Sjahrir meninggal di Zurich, Swiss 9 April 1966 masih dengan status tahanan politik, setelah Partai Sosialis Indonesia yang dipimpinnya diduga terlibat pemberontakan PRRI tahun 1958. Dwitunggal bahkan akhirnya menjadi Dwitanggal setelah Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pada 1 Desember 1956. Kepada Des Alwi, anak angkatnya ketika diasingkan di Banda Neira, Hatta menjawab begini ketika ditanya alasan pengunduran dirinya, “Om hanya disuruh mengurus Koperasi saja,” jawab Hatta setengah berkelakar karena semakin dominannya peran Soekarno waktu itu. Namun nasib Soekarno juga tidak jauh beda. Ia meninggal di Wisma Yaso, Jakarta pada 21 Juni 1970 dengan status tahanan kota dari negara yang didirikannya.

Pesan-Pesan Ideologis

Dialog menarik terjadi ketika Koesno—nama kecil Soekarno—ditanya seorang teman Belandanya, apakah ia Marxis? Soekarno tegas menjawab: iya, sambil meneruskan Ia juga seorang muslim. Sebab Islam dan Marxis sama-sama memperjuangkan kaum tertindas (mustad’afin). Namun Ia menolak disebut sebagai Komunis. Sebab menjadi seorang marxis jelas berbeda dengan menjadi seorang komunis. Puluhan tahun kemudian, di tahun 1926, Soekarno menulis artikel bernas berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Konsep ini kelak dikemudian hari ditransformasikan Soekarno menjadi Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunis).

Tentang ideologi, ada yang menggelitik dalam film ini yaitu ketika Soekarno akan menyampaikan pidatonya tentang dasar negara di sidang BPUPKI. Sidang sempat kacau ketika ada salah satu peserta yang dengan berapi-api menyebut dasar negara Indonesia harus Islam karena sebagian besar penduduk Indonesia adalah Islam. Usul ini ternyata disambiut riuh dan gaduh. Soekarno kemudian dengan cemerlangnya menjelaskan pemikirannya tentang Pancasila sebagai dasar negara yang diamini seluruh peserta sidang. Hal ini mengingatkan kita dengan golongan-golongan yang saat ini kencang menyuarakan desakan agar dasar negara diganti dari Pancasila menjadi asas Islam. Ternyata perdebatan tersebut sebenarnya telah selesai 68 tahun kemarin.

Tak hanya dasar negara, perdebatan tentang bentuk negara juga telah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. Dalam film digambarkan bahwa Jepang mengusulkan agar Indonesia berbentuk monarki konstitusional dengan Soekarno sebagai raja dan Hatta sebagai perdana menteri. Namun mereka tidak setuju, Hatta malah mengusulkan agar Indonesia kelak berbentuk federasi. Menjadi negara federal seperti Amerika Serikat. Tetapi Bung Karno tidak setuju dan memutuskan untuk membawa ke sidang BPUPKI dan kemudian sidang PPKI tentang bentuk negara.

Bentuk negara sebenarnya sudah dirumuskan oleh salah satu founding father yang kerap terlupakan: Datuk Ibrahim Tan Malaka alias Tan Malaka pada 1925 melalui bukunya Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). 20 tahun sebelum Indonesia merdeka, Tan telah mengatakan bahwa Indonesia nanti akan berbentuk republik. Namun Tan juga tidak beruntung, Ia meninggal ditembak oleh tentara dari republik yang dirancangnya pada 21 Februari 1949 di kaki Gunung Wilis, Kediri, Jawa Timur.

Film ini juga bercerita dengan apik tentang rumah H.O.S (Hadji Oemar Said) Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, yang menjadi rumah kos sekaligus rumah persemaian ideologi karena dihuni para calon pemimpin seperti Musso (pemimpin PKI), Kartosoewirjo (pemimpin Negara Islam Indonesia/NII) dan Soekarno sendiri. Rumah indekos Tjokro di Gang Peneleh, Surabaya itu menjadi ruang diskusi pertemuan berbagai ideologi. Tjokro, pemimpin organisasi massa Islam terbesar waktu itu membebaskan anak-anak kosnya untuk mempelajari ideologi apapun.

Dialektika Dua Cinta

Kisah cinta dalam film ini bukan hanya bumbu atau romantika semata. Cinta segitiga antara Soekarno, Inggit Garnasih dan Fatmawati menjadi bagian dari alur cerita yang tidak boleh hilang. Disinilah sosok Soekarno betul-betul tampak sangat manusiawi. Inggit Garnasih, isteri kedua Soekarno, harus menerima kenyataan pahit bahwa Soekarno jatuh cinta dengan muridnya di sekolah Muhammadiyah Bengkulu, tempat Soekarno mengajar ketika diasingkan Belanda. Inggit yang dinikahi Soekarno di Bandung pada 1923 itu akhirnya minta cerai dari pada harus dimadu. Inggit memilih untuk ikhlas melepas Soekarno bersama anak gadis 20 tahun putri tokoh Muhammadiyah Bengkulu, Hassan Din.

Inggit yang bertahun-tahun menemani perjuangan Engkus—panggilan sayangnya kepada Soekarno—rupanya tidak cukup kuat untuk menerima perempuan lain dalam keluarganya. Ia memilih untuk pulang ke Bandung setelah 19 tahun menjadi pendamping Bung Karno. Dalam film digambarkan bagaimana Inggit begitu tersentak dan kemudian terisak, ketika ibunda Soekarno, Ida Ayu Nyoman Rai, menanyakan kepada Soekarno kapan ia mempunyai anak. Inggit yang adalah ibu kos Soekarno sewaktu indekos di rumah Haji Sanusi selama kuliah di Bandung memang lebih tua belasan tahun dari Soekarno dan tampaknya tidak dapat lagi memberi Soekarno anak. Hal ini pula yang menjadi jawaban Soekarno ketika disinggung karibnya, Gatot Mangkupraja tentang pernikahan ketiganya. “Saya ingin punya anak,” jawab Soekarno.

Jawaban cerdas keluar dari mulut Inggit ketika Soekarno curhat bahwa keadaan pada tahun 1942 itu diluar dugaannya. “Keadaan yang mana? (kedatangan) Jepang atau perempuan itu?” sengit Inggit menyentil Fatmawati yang mulai mengisi ruang-ruang hati Soekarno. Kegalauan Soekarno tergambar jelas, beberapa kali ia terlihat termangu dengan tatapan kosong bahkan disaat-saat genting perundingan dengan petinggi Jepang. Putusan cerai kemudian diambil dan Fatmawati diboyong dari Bengkulu. Namun jauh sebelum itu, surat-surat cinta Soekarno kepada Fatma membuat orang tua Fatma bingung. Ada komentar menarik dari ibunda Fatma, Siti Chadijah, ketika tahu bahwa cinta anak perawannya kepada pak guru tak lagi bisa dihalang-halangi, “Apa kau tak memikirkan perasaan Bu Inggit? Apa kau mau dimadu?” tanya Chadijah. Pertanyaan istri Hassan Din ini mendapat jawaban puluhan tahun kemudian ketika Soekarno meminta ijin untuk menikah lagi dengan Hartini pada 1953. Fatmawati mengijinkan namun kemudian memilih untuk keluar dari istana.

Percintaan adalah sisi lain Bung Karno dalam film ini. Jelas banyak hal lain yang membuat film ini layak ditonton. Selain soal ideologis dan kegandrungan akan persatuan yang membuat film ini harus ditonton golongan-golongan intoleran, tampaknya para politisi, pejabat dan birokrat juga harus menonton. Tergambar dengan jelas bagaimana seorang sekaliber Hatta masih ragu apakah mampu memimpin penduduk 70 juta jiwa (pada waktu itu), menyejahterakan mereka dari hasil kekayaan negeri sendiri sampai menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil. Soekarno meyakinkan Hatta bahwa mereka bisa sebab kemerdekaan bukan tujuan tapi adalah awal. “Kita yang mengawali tapi anak cucu kita yang nanti akan meneruskan,” tegas Soekarno. Film ini juga mengajarkan bahwa pemimpin adalah orang yang bisa memikat hati rakyat. Selain itu, sosok yang dicintai rakyat saja sebenarnya tidak cukup, Soekarno membutuhkan sosok macam Hatta yang kalem namun bijak yang bisa menjadi peredam Soekarno yang meledak-ledak. Namun Soekarno juga butuh sosok semacam Sjahrir—yang memiliki karakteristik sama—sebagai sparing partner dalam berdebat.

Akhirnya, catatan panjang tentang film Soekarno ini ingin menyebut bahwa banyak cara untuk mengedukasi masyarakat, terutama generasi muda tentang sejarah perjuangan bangsa. Dan film sebagai bagian dari pop culture adalah salah satu media pembelajaran yang cocok. Semoga catatan ini bisa memberi sudut pandang lain dalam melihat karya kreatif tentang sejarah yang ditampilkan oleh media. Selamat Menonton! Eh, harus nonton! J

Singkatan

BPUPKI: Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

PPKI: Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

PRRI: Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia

Isteri pertama Soekarno adalah Siti Oetari, anak sulung H.O.S Tjokroaminoto, bapak kosnya ketika sekolah di Surabaya. Oetari dinikahi Soekarno pada tahun 1921 ketika masih berusia 16 tahun dan kemudian diceraikannya baik-baik setelah pindah ke Bandung untuk kuliah di THS (sekarang ITB)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun