Mohon tunggu...
Eko Prasetyo
Eko Prasetyo Mohon Tunggu... Akuntan - Apa ya?

Buat Tugas

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Islam dan Perspektif Peradaban Kuno tentang Penciptaan Alam Semesta

24 Desember 2019   15:56 Diperbarui: 24 Desember 2019   16:04 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk apa alam semesta diciptakan jika pada akhirnya akan dihancurkan oleh Sang Pencipta? Dan untuk apa semua ini diciptakan jika 'Yang Maha Esa' sudah mengatur segala skenario yang ada di alam semesta ini?

Pertanyaan tersebut selalu muncul jika saya membaca, mendengar, atau menonton hal-hal yang berkaitan dengan alam semesta.

Ketika saya bertanya kepada guru atau seseorang yang ahli dibidang ini, saya selalu mendapatkan jawaban yang sama, "Itu semua sudah menjadi kehendak Allah SWT, kita sebagai manusia tidak seharusnya mempertanyakan kuasa-Nya".

Ya, pada akhirnya kita sebagai manusia yang merupakan salah satu makhluk ciptaan-Nya tidak pantas untuk mengetahui segala sesuatu yang ada di bumi dan langit. Ada beberapa hal yang hanya diketahui Allah SWT dan tidak ada satu pun makhluk yang diperbolehkan untuk mengetahuinya.

Akan tetapi, manusia tetaplah manusia. Sebagai makhluk ciptaan Allah yang diberikan anugerah oleh-Nya berupa hawa nafsu. Hawa nafsu akan ilmu pengetahuan, salah satunya tentang alam semesta atau ilmu alamiah.

Peradaban manusia sekarang ini memang sangat ingin mencari tahu tentang alam semesta beserta misteri-misteri yang ada di dalamnya. Dengan bantuan teknologi yang semakin hari semakin canggih, maka tak heran muncul teori-teori yang berkaitan dengan alam semesta.

Jangankan peradaban yang sekarang, bahkan peradaban kuno sudah meneliti alam semesta ini sejak ribuan tahun yang lalu. Tapi kembali lagi, itu hanya sebatas teori. Segala yang benar hanya diketahui oleh Sang Pencipta, Allah SWT.

Terbentuknya Alam Semesta

Dalam buku atau ensiklopedia yang selama ini kita baca, ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli tentang terbentuknya alam semesta seperti teori oselasi, teori big-bang, dan teori ekspansi-kontraksi. Mereka (para ahli) mengabdikan dirinya selama bertahun-tahun untuk meneliti hal tersebut untuk ilmu pengetahuan umat manusia. Akan tetapi itu hanya sebatas teori yang tidak sepenuhnya benar atau bahkan sepenuhnya salah.

Logikanya, bagaimana mungkin manusia bisa menemukan hal besar seperti pengetahuan tentang awal penciptaan alam semesta yang terjadi sejak jutaan, miliyaran, atau mungkin triliyunan tahun yang lalu secara detail dan valid? 

Pemikiran tentang asal muasal alam semesta ini sebenarnya sudah muncul sejak ribuan tahun yang lalu. Berdasarkan artefak beserta penemuan-penemuan kuno lainnya, disebutkan bahwa pada 2500 tahun SM, peradaban Bangsa Sumeria di Mesopotamia (sekarang disebut dengan Irak) meyakini bahwa bumi dan langit pada awalnya adalah dua hal yang tadinya bersatu padu.

Selama masa keterpaduan tersebut, bumi dan langit dipisahkan oleh air yang sangat besar. Lalu, Dewa Anu (Dewa Langit) bercampur dengan unsur-unsur kosmis seperti langit, bumi, angin, dan air hingga terciptanya turunan dewa. Dewa Langit, Dewa Bumi, Dewa Angin, dan Dewa Air inilah yang dipercaya menciptakan suatu tatanan yang disebut sebagai alam semesta.

Lalu menurut Bangsa Mesir Kuno yang beranggapan bahwa alam semesta tercipta dari air yang tidak bernyawa yang disebut Nu. Air tersebut perlahan-lahan semakin surut hingga munculah tanah dari perairan.

Air yang surut tersebut meninggalkan bukit kering dan subur, serta dari puncak bukit itu tampak matahari terbit (menurut mereka disebut sebagai Dewa Ra). Hal ini dimaknai oleh Bangsa Mesir Kuno sebagai munculnya kehidupan yang berasal dari kekacauan.

Selain itu ada Bangsa Yunani Kuno yang beranggapan bahwa pada awalnya alam semesta ini dibentuk oleh suatu entitas yang misterius atau disebut Khaos. Dari Khaos inilah munculah Gaia (Dewi Bumi) beserta makhluk dewata primer lainnya. Lalu Gaia melahirkan Uranus (Dewa Langit) dan Pontos (Dewa Laut) hingga pada akhirnya terdapat kehidupan di bumi.

Dan ada Bangsa Nordik/Skandinavia yang memiliki kepercayaan bahwa pada awalnya alam semesta ini terdapat Ginnungagap, yaitu jurang menganga yang tak berujung. Di kedua sisinya dikelilingi oleh dunia api atau disebut Muspelheim dan dunia es atau disebut Nilfheim.

Jauh di dalam Ginnungagap, terdapat Yggdrasil yang disebut sebagai pohon kehidupan yang terdiri dari 9 dunia. Lava dari Muspelheim memasuki Ginnungagap. Pertemuan antara udara panas Muspelheim dengan udara dingin Nilfheim di Ginnungagap menyebabkan terciptanya makhluk raksasa yang disebut Ymir serta sapi yang disebut Audhumla.

Setiap kali Audhumla menjilati batu, terbentuklah dewa-dewa. Dewa-dewa inilah yang kemudian membunuh Ymir dan menjadikan setiap bagian tubuhnya menjadi alam semesta. Menurut kepercayaan Bangsa Nordik, bumi yang sekarang kita pijak, berada di dunia ke-3 dalam pohon kehidupan Yggdrasil.

Kepercayaan-kepercayaan di atas menurut kita hanyalah sebatas mitos belaka yang tidak terbukti kebenarannya atau bisa dikatakan pseudo-science atau pseudo-religion. Mitos tersebut dibuat agar dapat diterima oleh akal manusia pada zaman dahulu.

Ya, mungkin menurut kalian itu hanyalah dongeng semata. Tapi ini tentang perspektif setiap manusia, bagaimana mempercayai suatu hal, salah satunya tentang alam semesta.

Bagaimana pandangan Islam tentang penciptaan alam semesta? Dalam Al-Qur'an, pada awalnya Allah SWT menciptakan tujuh langit yang memiliki ketetapan dan fungsi yang berbeda-beda, serta menghiasi seluruh langit dalam dua masa. Setelah itu bumi diciptakan oleh Allah SWT dalam dua masa.

Dan yang terakhir, isi dan kelengkapan bumi diciptakan oleh Allah SWT dalam dua masa pula. Dengan demikian, total penciptaan alam semesta ini yaitu terdiri dari enam masa. Hal ini tercantum dalam surah An-Naaziat, 79: 27-33.

Sekali lagi, ini hanyalah perspektif dari setiap umat manusia tentang proses penciptaan alam semesta. Bukan untuk menentukan mana yang paling benar. Jika kita sebagai umat Islam menganggap perspektif mereka---manusia pada peradaban kuno---adalah sebatas dongeng semata, mereka mungkin juga menganggap perpektif kita terhadap alam semesta hanya sebatas dongeng semata. Kembali lagi, ini tentang kepercayaan masing-masing umat manusia. Benar atau salah biar Allah yang menentukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun