Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dua Puluh Tujuh Kali Mengalami Sebelas Januari

17 Januari 2023   22:33 Diperbarui: 17 Januari 2023   22:35 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua Puluh Tujuh Kali Mengalami Sebelas Januari

Rasa syukur tentu saja tak terukur atas suatu umur. Segala puji bagi Sang Maha Abadi tepatnya pada sebelas Januari 2023 saya masih diperkenankan menghadapi hidup! Ya, menghadapi hidup artinya menghadapi penderitaan. Dan tepat sebelas Januari 2023 saya telah menghadapi penderitaan selama dua puluh tujuh tahun.

Tapi apalah arti penderitaan bila manusia tak bisa dirubuhkan? Barangkali memang manusia kerap lebih sering kalah daripada menang dalam sebuah pertarungan atau pertaruhan. Tapi bukankah kekalahan hanya kemenangan yang tertunda? Ya, saya masih percaya anggapan yang bagi saya benar itu dengan catatan mereka boleh kalah dalam ribuan pertarungan atau perteruhan tetapi mereka tidak boleh menyerah!

Begitulah yang saya pelajari dari Emak selama dua puluh tujuh tahun ini. Emak memang tak mengajari saya layaknya guru atau dosen di sekolahan. Emak yang tamatan sekolah dasar memang tak pintar omong. Emak lebih tinggi dari pintar, lebih tinggi dari bijak. Emak seorang yang mulia.

Tentu bagi saya, orang-orang yang sudah sampai ke level mulia tak butuh atau bahkan meminta manusia lain untuk belajar atau mempelajari ilmu atau pengetahuan darinya. Bagi saya orang yang sudah sampai level mulia seperti Emak itu ibarat mata air yang semua pejalan hidup butuhkan.

Ketidakmenyerahan Emak dalam menghadapi hidup itulah yang sudah saya pelajari bahkan sejak dalam kandungannya meskipun saat diri masih dalam bentuk janin yang belum berotak itu tidak tahu apa itu kosa kata perjuangan atau ketidakmenyerahan.Tapi saya mengamini salah satu hal yang sempat saya ingat dari paparan Ki Herman Sinung Janutama juga Romo Manu bahwa proses belajar manusia dalam alam pikir Jawa sudah dimulai sejak dalam kandungan. Barangkai memang yang menangkap bukan organ tubuh si janin seperti otak yang belum berbentuk tetapi menangkap pembelajaran itu ialah ruh. Ruh si janin memang tidak belajar kosa kata karena memang ia belum mengenal bahasa tetapi ruh belajar tentang "rasa"! Di dalam kemenyatuan tubuh itulah saya belajar banyak di rahim Emak.

Dari Emak Sampai Pandhita Wesi Kuning

Pagi, matahari sepenggalah saya bahkan lupa hari itu tiba. Lupa memang takdir manusia yang tiap detik semakin menua, pikirku. Saya yang kebetulan pulang kampung memang hanya tidur-tiduran di kamar membaca buku sesekali bermain game.

Emak masuk kamar saya. Belum sempat saya lihat wajahnya yang senang itu ia memeluk dan mencium sambil mengucapkan selamat -- mendoakan selamat. Tak ada kata lain yang keluar dari mulut saya selain amin. Hati saya detik itu dan saat menulis catatan ini pun masih tergetar ketika terngiang doanya yang kudengar.

Doa yang sungguh lazim seperti doa yang dibawakan kyai kampung ketika menjadi imam di Langgar. Doa yang sungguh rasional dan dasyat. "Selamat bertambah umur Le, semoga selamat, sukses dunia akhirat", ucap Emak.

Selamat dan sukses dunia akhirat! Selamat dan sukses dunia akhirat! Selamat dan sukses dunia akhirat!

Saya coba merenung-renung dimana letak kedasyatannya, dan beginilah kesimpulan saya: bukan semata-mata saya ingat dawuh salah seorang ulama bahwa satu doa Ibu lebih baik dari 70 doa wali qutb sehingga saya rasa doa yang Emak panjatkan buat saya terasa dasyat melainkan urutan diksi atau susunan katanya -- selamat, sukses, dunia, akhirat.

Kadang saya sering berpikir kenapa saya sampai detik tulisan ini belum sukses barangkali memang salah satunya tak lain memang Emak menghendaki anak-anaknya selamat daripada sukses. Sukses sekadar menjadi bonus setelah selamat. Dan bukankah ngurupi urip dalam alam pikir Jawa tak lain tujuannya cuma selamat bagi diri sendiri dan membantu orang lain turut selamat di dunia dan akhiratnya?

Doa Emak saat itu jadi hadiah terbaik bagi saya. Tak lupa juga Bapak turut mendoakan hal serupa.

Dalam kembara pikirku, saat menulis catatan ini saat melihat dua puluh tujuh tahun silam saya menyadari satu hal, "ternyata sebanyak apapun kekalahan yang sudah saya alami, nyatanya lebih bayak keselamatan yang sudah saya rasakan. Tak lain lagi-lagi berkat keramat doa kedua orang tua terutama doa Emak".

Dorongan doa dan pembelajaran akan ketidakmenyerahan itulah yang membuat niat juang tak setengah-setengah. Dan bukankah niat juang yang tak setengah-setengah itulah salah satu syarat kemenangan? Bukan memenangi pertaruhan namun juga memenangi batas-batas ketakutan diri atau yang orang sebut ketidakmungkinan!

Kembara pikirku, ke beberapa tahun lalu. Saya menemukan diri tengah duduk melingkar di sebuah pepunden. Di tengah kami seorang kakak seperguruan memberi pesan, "Dik, kalau kamu sudah yakin (baca:yakin jalanmu bener, caramu pener) mau nyebrang kali dan kamu sudah basah nyemplung ke kali bersetialah hati dan jangan pikir kembali. Sepiro gedhene sengsara yen tinampo among dadi cubo. Begitulah pesan Pandhita Wesi Kuning, R.M Imam Koesoepangat."

Wejangan itu barangkali memang dalil yang sedari kecil memang tidak terucapkan oleh Emak meskipun memang Emak sudah melampaui segala macam pengucapan -- Emak nglakoni dalam laku keseharian. Hujan, panas, jual sayur keliling pagi sampai siang. Sore sampai malam masih rewang (baca: jadi pembantu di rumah juragan beras langganan sayurnya) cuma agar anaknya bisa lebih baik. Emak merdeka dari segala bentuk keegoisan diri. Emak wariskan ilmu yang lebih baik dari segala bentuk harta. Begitu pun dengan Bapak. Tak ada sengsara hanya cobaan biasa yang pasti bisa dilampaui manusia!

Kembara pikirku, balik ke detik saat saya tengah mengetik. Tantangan yang tepat di depan mata antara kebutuhan kerja dan kewajiban belajar. Kuatkah badan, jiwa atau pikiran ini nglakoni?

Hal-hal aneh terlintas begitu saja: kerja malam 9 jam, jam tidur pasti berkurang, ngangsu kaweruh 5 jam, tersisa 10 jam untuk istirahat dan hal-hal lain. Sehat? Sakit? Membayang.

Hal-hal lucu pun muncul di waktu silam: sekolah pagi sampai siang 8 jam, latihan pencak 6 sampai 8 jam, tersisa 8 sampai 10 jam. Sehat? Sakit? Teringat.

Saya menangguk kecil. Saya pernah sampai ke seberang kali dengan selamat dan saya musti dan akan sering kali menyebrang kembali dengan selamat sebab belum saatnya ngunduh wohing pakarti, menikmatiya dan membaginya pada keluarga tercinta.

Madiun, 11 Januari 2023 -- Yogya, 17 Januari 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun