Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Korupsi: Catatan Kaki Buat Orde Paling Baru (Resensi Novel Orang-Orang Proyek, Ahmad Tohari)

20 Mei 2021   12:27 Diperbarui: 20 Mei 2021   12:27 2835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Korupsi: Catatan Kaki Buat Orde Paling Baru

Judul             : Orang-Orang Proyek

Penulis          : Ahmad Tohari

Penerbit        : PT Gramedia Pustaka Utama

Cetakan        : Kedua, Oktober 2015

Tebal             : 256 halaman

ISBN            : 978-602-03-2059-5

Seperti sebuah pepatah, "api padam, puntung berasap" meskipun rezim lama sudah berganti, berita kasus korupsi mengudara lagi. Potensi bahaya laten korupsi pada kekuasaan inilah yang diabadikan Ahmad Tohari dalam karyanya Orang-Orang Proyek. Novel yang rampung ditulis pada 2001 dan diterbitkannya pada 2002 tersebut menjadi catatan kaki ironi pembangunan rezim Orde Baru yang sangat penting untuk pembangunan setelah reformasi.

Berbeda dengan novelnya terdahulu, Di Kaki Bukit Cibalak (1986) yang mengangkat tema serupa, novel Orang-Orang Proyek lebih tajam membedah praktek korupsi di berbagai golongan. Dari gologan buto atau raksaksa sampai golongan keroco atau jelata. Mengambil latar waktu tahun 1990, Tohari melukiskan dengan sangat apik potret-potret ekspresi manusia selama pembangunanisme. Potret kebahagiaan-kebahagiaan kecil masyarakat kampung yang berharap kemanfaatan dari proyek pembangunan jembatan dan potret kerakusan, keculasan yang menyertainya. Ada potret warga kampung menjadikan proyek sebuah hiburan tersendiri karena kagum dengan adanya suasana baru yang ramai di tengah suasana kampung yang adem ayem. Ada potret warga setempat dan warga luar senang karena terserap tenaganya meskipun hanya sebagai kuli kasar. Ada potret warga senang dengan kemudahan akses transportasi, akses ekonomi, akses pendidikan yang akan diterimanya setelah hampir empat puluh empat tahun setelah jembatan kampung diledakkan dalam Agresi Militer 1948. Ada potret keterancaman hilangnya mata pencarian seorang pemilik rakit penyebrangan. Ada potret orang terpelajar pemborong proyek, kader partai yang mengutuk kemiskinan dan memperkaya diri dengan korupsi.

Melalui tokoh insinyur, mantan aktivis kampus, Tohari langsung melancarkan kritik mendasar terhadap pembangunan yang tak bebas korupsi hanya akan memberikan kerugian bagi negara dan masyarakat. Pada duapuluh halaman pertama, Kabul mengudar rasa kepada Pak Tarya, seorang pensiunan pegawai kantor Penerangan jika ongkos jutaan rupiah membangun tiang pancang jembatan beberapa hari lenyap seketika lantaran hitung-hitungan politis peningkatan elektabilitas parpol penguasa, mengabaikan hitungan potensi teknis kelancaran, keberhasilan proyek. Kabul menerangkan, "Karena kerugian itu sesungguhnya bisa dihindarkan bila awal pelaksanaan pembangunan jembatan itu ditunda sampai

musim kemarau tiba beberapa bulan lagi. itulah rekomendasi dari para perancang. namun rekomendasi itu diabaikan, konon demi mengejar waktu...Penguasa yang punya proyek dan para pemimpin politik lokal menghendaki jembatan itu selesai sebelum Pemilu 1992. Karena, saya kira, peresmianya akan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye partai golongan penguasa. Menyebalkan. Dan inilah akibatnya bila perhitungan teknis-ilmiah dikalahkan oleh perhitungan politik" (halaman 11).

Manakala pembaca melakukan pembacaan saksama, pembaca akan mengerutkan dahi saat menyadari bahwa di dalam rezim Orde Baru tidak didapatinya pola pikir yang baru. Sejak memproklamasikan kemerdekaan hingga Orde Baru, penulis menangkap bahwa bangsa Indonesia urung memproklamasikan diri merdeka dari cara berfikir feodal. Sehingga, proyek pembangunan apapun termasuk pembangunan jembatan dalam novel ini dimaknai sebagai bancakan.

Bahkan korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa secara tersirat ditampilkan Tohari secara lucu yakni di zaman Orde Baru siapapun orangnya bisa melakukan korupsi secara jujur terang-terangan. Dari proses pra-kualifikasi mendapatkan tender hingga pelaksanaan dapat melakukan tawar menawar persenan anggran proyek, permainan termin, manipulasi kualitas barang untuk proyek, pemanfaatan fasilitas proyek untuk kegiatan parpol, pengadaan proyek tambahan untuk kepentingan personal elit parpol, bahkan kongkalikong pencurian material proyek seperti besi dan semen oleh orang dalam proyek dengan masyarakat kampung. Melalui tokoh Dalkijo, kepala proyek pemborong pemenang tender, Tohari hendak mengutarakan respon sinisnya terhadap political will rezim yang lemah terhadap politik hukum anti korupsi. Korupsilah selagi korupsi itu belum keras dilarang. "Mantan aktivis seperti Dik Kabul tentu menghendaki perubahan besr di berbagai bidang. Korupsi dalam berbagai bentuk dan manifestasinya harus dihilangkan. Pemerintah mesti cakap, berwibawa dan terpercaya. Lembaga legislatif harus selalu berpihak kepada kepentingan rakyat. Pokoknya demokrasi harus benar-benar tegak. Dengan demikian, cita-cita membangun kehidupan bersama yang adil dan makmur bisa menjadi kenyataan. Terus menerus. Ya, ya. Dan dalam kaitan dengan proyek ini, lelang harus dilakukan dengan sejujur-jujurnya dan sebersih mungkin. Anggaran harus seratus persen dibelanjakan untuk kepentingan proyek, sehingga mutunya memenuhi persyaratan objektif. Nah, itu bagus. Koboi seperti saya juga bilang itu bagus... Namun kapan hal sangat besar dan ideal itu bisa diwujudkan?  Mungkin kondisi yang menurut Dik Kabul ideal itu baru bisa terwujud pada masa cucu atau cicit saya. Nah, sambil menunggu saat itu datang, apa salahnya saya jalani hidup ini dengn mengembangkan sikap realistis? Dan itu tadi; kalau saat ini saya dalam posisi bisa mengubur semua sejarah kemiskinan keluarga, mengapa hal itu tidak secepatnya dan sepuas-puasnya saya lakukan?" (halaman 34-35).

Singkatnya, korupsi yang notabene kejahatan luar biasa yang berdasarkan logika dibayangkan secara sistematis, canggih sehingga tidak meninggalkan jejak operasinya nyatanya dilakukan secara biasa, sederhana, dan lancar-lancar saja pada rezim Orde Baru. Toh, Ahmad Tohari sama sekali tidak mengulas prospek pemberantasan korupsi oleh negara dalam novel ini meskipun pada zaman tersebut terdapat beberapa peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi beserta istansi penegakkan hukumnya. Korupsi dirasa sebagai gejala kronis yang hampir membudaya. "Begini. Bila masyarakat sudah menganggap perilaku edan adalah hal biasa, sehingga tak usah dirisaukan dan dicegah, kita bakalan ambruk. Andaikan tidak, bila kita adalah negara, jadilah negara-negaraan. Kalau kita adalah masyarakat, jadilah masyarakat-masyarakatan." (halaman 80).

Meskipun korupsi hampir membudaya dalam Orang-Orang Proyek, Ahmad Tohari setidaknya menghadirkan dua sikap yang menggambarkan optimis gerakan anti korupsi. Pertama, sikap tokoh Pak Basar, Kades teman kuliah Ir. Kabul yang sudi menjual motor vespa kesayangannya untuk membeli material renovasi masjid kampung yang sebelumnya hendak menggunakan material proyek jembatan. Kades Basar mendukung Ir. Kabul yang menolak pemerasan panitia renovasi masjid lantaran proyek jembatan telah mengalami kebocoran anggaran sebesar tiga puluh hingga empat puluh persen. Kedua, sikap Ir. Kabul yang menggunakan uang pribadinya untuk membeli material renovasi masjid dan sikapnya berhenti dari proyek lantaran kebijakan atasannya Ir. Dalkijo yang hendak menggunakan material pasir sungai kualitas buruk dan besi bekas untuk menyelesaikan bagian lantai jembatan. Kabul juga berani memperingatkan Dalkijo tentang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1990 yang mewajibkan kepada pemborong untuk menjamin bangunan yang dikerjakan bisa dimanfaatkan setidaknya sepuluh tahun.

Menariknya, Tohari juga memberikan penghormatan kepada tiga tokoh insinyur Indonesia yang patut dianut cara hidupnya. "Sebagai sarjana teknik Kabul sering bertanya-tanya mengapa terlalu sedikit insinyur yang bisa jadi panutan seperti Rooseno, Sudiarto, atau Sutami. Selain berdedikai tinggi, mereka meninggalkan karya-karya monumental. Kehidupan pribadi mereka bermartabat, ora kagetan, ora gumunan, lagi kemaruk. Sutami malah hidup sangat bersahaja dalam status mentri pun..." (halaman 169-170).

Novel ini menjadi catatan kaki yang penting bagi gerakan anti korupsi rezim Orde Paling Baru. Apakah pertanyaan pembaca masih sama seperti pertanyaan di akhir cerita, korupsi besar-besaran yang gila akan berlangsung sampai kapan?

Madiun, 20 Mei 2021

Eko Nurwahyudin, alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun