Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Bangsa Pendekar Tak Sudi Bertengkar (Resensi Buku Emha Ainun Nadjib, Kagum kepada Orang Indonesia)

11 Mei 2021   07:10 Diperbarui: 11 Mei 2021   07:14 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangsa Pendekar Tak Sudi Bertengkar


Judul             : Kagum Kepada Orang Indonesia

Penulis          : Emha Ainun Nadjib

Penerbit        : Bentang

Cetakan        : Pertama, Desember 2015

Tebal             : xiv + 78 halaman

ISBN            : 978-602-291-133-3

Perkenalan yang singkat hanya mengakibatkan rasa heran, nggumun, sedangkan perkenalan yang mendalam pasti mengakibatkan kekaguman. Hal itulah yang pembaca akan pahami setelah merampungkan membaca karya Emha Ainun Nadjib ini. Buku ini lebih merupakan himpunan catatan yang memotret intensitas perkenalan penulis dengan orang Indonesia daripada dimaknai sebagai pledoi penulis terhadap sepuluh sifat orang Indonesia yang diidentifikasikan Mochtar Lubis pada 1977.

Buku yang bisa dirampungkan dalam sekali duduk ini mengulas tentang potensi besar bangsa Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain dan seringkali tidak disadari bangsa Indonesia sendiri. Cak Nun menuturkan bahwa bangsa Indonesia acap kali dipandang dunia dengan sebelah mata sebagai manusia nomor dua, inlander yang hidup di negeri penuh duka kegelapan.  Namun bagi penulis sendiri, pandangan bangsa asing yang sinis meremehkan tersebut dikarenakan dalam alam pikir bangsa mereka tidak dikenal konsep filosofis dan budaya seperti ilmu padi, budaya pakewuh atau sungkan. Berbeda dengan bangsa lain, pemahaman keunggulan manusia bagi bangsa Indonesia justru tercermin pada konsep ngalah kuwi dhuwur wekasane atau mengalah lebih tinggi derajatnya daripada bersikap adigang, adigung, adiguna

Kalau kita bilang, “Negara kita sedang krisis”, itu semacam tawadlu’ sosial, suatu sikap yang menghindarkan diri dari sikap sombong. Kalau pemerintah kita terus berutang triliunan dolar, itu strategi agar kita disangka miskin. Itu taktik agar dunia meremehkan kita. Karena kita punya prinsip religius bahwa semakin kita direndahkan oleh manusia, semakin tinggi derajat kita di hadapan Allah. Semakin kita diperhinakan oleh manusia di bumi, semakin mulia posisi kita di langit… Kita tidak akan pernah pamer keunggulan kepada bangsa lain, dan itulah justru tanda keunggulan budaya kita. Kita tidak akan mencari kepuasan hidup melalui sikap ngendas-endasi bangsa lain. Kita adalah bangsa yang memiliki kemuliaan batin karena sanggup mempraktikkan budaya andap asor” (halaman 11-13).

Melalui gaya bahasa yang khas, Emha dengan cakap berhasil membuat pembacanya merefleksikan besaran daya tahan, daya tempur, daya serang bangsa Indonesia. Terlebih, pada uraian bab berjudul Bangsa Besar Tak Butuh Kebesaran, Emha mengingatkan pembacanya bahwa manusia-manusia Indonesia sejatinya seperti pendekar silat yang ngabehi, serba bisa. Pendekar yang mandraguna. Laku tirakatnya luar biasa. Pendekar yang selalu memilih ngalah, ngalih daripada ngamuk

Tidak sudi berkelahi dan lebih memilih menghindari pertempuran – bukan lantaran takut kalah melainkan tidak memburu kemenangan dan pengakuan. “Memang salah satu kehebatan bangsa Indonesia adalah kesanggupannya menciptakan citra di mata dunia bahwa dirinya dekaden, bodoh, kacau, miskin, mental buruk, dan moral rusak. Itulah pendekar sejati. Kalau Anda seorang yang alim saleh dan tampil dengan lambang-lambang kealiman dan kesalehan, misalnya berpeci, pakai serban, dan lain-lain berarti kerendahhatian Anda belum sempurna… Bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari pun punya kecenderungan kerendahan hati yang luar biasa. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar sehingga tidak membutuhkan kebesaran. Orang yang masih mengejar kebesaran adalah orang yang masih kecil atau kerdil. Orang yang masih sibuk mengejar proyek dan kekayaan berarti dia orang miskin. mengejar-ngejar kemajuan karena sudah maju. Indonesia tidak pernah bernafsu terhadap kehebatan karena aslinya memang sudah hebat” (halaman 19-21).

Sebagai penutup, pembaca sangat terkagum satu uraian keterpaksaan penulis mengulas bukti nyata keunggulan bangsa Indonesia dari bangsa lainnya. Bangsa lain tak dapat memungkiri bahwa tidak ada bangsa yang dapat menyanyikan  lagu dengan cengkok apapun selain bangsa Indonesia. Dengan menggelitik, Emha juga menyebut, tidak ada bangsa senekat bangsa Indonesia bahkan bangsa yang manusianya tidak punya uang berani menikahi anak orang. Terutama sekali, pembaca akan terkagum dengan bangsa Indonesia melalui peringatan Cak Nun, bahwa kelak akan pembaca sekalian temukan banyaknya anak-anak Hong Kong yang bisa bershalawat karena diajari para TKW Indonesia bukan diajari oleh orang tua mereka.

Bilamana bangsa Indonesia terpaksa diremehkan oleh bangsa lain dan ditantang dalam satu perlombaan, maka jangan nggumun, jangan heran kalau bangsa Indonesia bisa menang tanpa ngasorake, menang tanpa merendahkan. Tanpa bangsa lain merasa, mereka telah terkalahkan.

  

Madiun, 11 Mei 2021

Eko Nurwahyudin, alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun