Koes Plus, Ramadan dan Cakra Manggilingan
Saya teringat salah satu kultum almarhum Kyai saya sewaktu Ramadan beberapa tahun silam. Di langgar yang sederhana Pak Kyai kami ngaji kitab sedangkan kami tidur-tiduran, kadan sambil bermain cublak-cublak suweng. Ya, begitulah kami melupakan atau mengalihkan perhatian kami dari menunggu waktu berbuka yang sangat lama bagi bocah seumuran kami waktu itu.
Namun, dari rutinnya saya mengacuhkan almarhum Kyai saya ngaji kitab itu, ada beberapa hal yang ingat bahkan sampai hari ini. Saya mengingat bahwa beliau pernah mengulas bab puasa Ramadan. Dimana dalam bulan yang istimewa ini manusia diberi Tuhan metode untuk dirinya melatih diri selalu eling lan waspodo.Â
Dengan berpuasa manusia dilatih untuk mengekang nafsunya, amarahnya untuk menyakiti, merugikan, membohongi, bahkan menindas sesamanya. Dengan berpuasa manusia dilatih untuk memperbesar nafsu muthmainnahnya -- ora gawe alane liyan, opo olone gawe senenge liyan atau tidak berbuat buruk yang merugikan kepada orang lain, apa buruknya berbuat baik yang menyenangkan orang lain.
Beliau juga menjelaskan bahwa baik pada bulan Ramadan maupun setelahnya, terdapat dua jenis model manusia dan perubahannya. Beliau menganalogikannya dengan model puasa ulat dan model puasa ular. Dua hewan ini berpuasa untuk mendapatkan kemanfaatan bagi dirinya.Â
Namun menurut almarhum Pak Kyai terdapat perbedaan yang dapat dilihat antara ulat dan ular setelah berpuasa. Bagi beliau, dengan berpuasa orang seyogyanya bisa seperti ulat yang menjadi kupu-kupu.Â
Ulat yang kadang dianggap hama dengan berpuasa dalam kepompong bisa menjadi kupu-kupu yang kelak justru membantu dalam proses penyerbukan. Ular jelas tak mengalami perubahan bentuk. Wujudnya begitu-begitu saja. Namun apa salahnya? Ular toh berperan layaknya ular. Ada ular jali disekitar sawah yang juga menjadi predator alami bagi tikus.
Bagi saya sendiri, tentu saja saya lebih bisa meniru dua-duanya. Puasa ulat untuk merubah segi tertentu dan puasa ular untuk mengkonsistenkan segi tertentu. Namanya juga manusia mahluk yang pintar meniru.Â
Saya tidak seperti kebanyakan orang yang saban Ramadan seolah-olah merevolusi temporal kebiasannya. Kalau bisa merevolusi kesalehannya bagus. Kalau bisa merevolusi pakaiannya yang tidak menutup aurat menjadi menutup aurat bagus. Tapi kalau sampai merevolusi menu makan sampai selera musiknya ya kebangetan. Apalagi dalam merevolusi itu sambil menggelorakan hatinya dengan motto: ganyang!
Kalau sampai dititik pemikiran, sikap dan tindakan demikian tentu kita perlu mengambil waktu untuk menyepi, merenung sesekali. Bayangkan jika kita berpuasa melakukan revolusi sambil dalam hatinya berkobar-kobar "ganyang!" bisa-bisa kelepon pun jadi sasaran amukannya. "Berbuka dengan klepon tidak islami. Berbuka dengan kurma itu sunnah nabi!".
Begitu juga dengan selera musik. Banyak orang yang seolah-olah setelah berpuasa mendengarkan musik yang bergenre arab, religi, atau musik timur tengahan. Banyak dari mereka seakan emoh untuk mendengarkan dangdut, blues, rock, jazz, dan sebagainya yang biasanya menenagkan keadaan psikologisnya ketika sakit hati dengan pasangan hidupnya, atau merindukan kekasihnya.