Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Ramadan Masa Kecil: Dari Takut Masuk Neraka Sampai Takut Masuk Surga

19 April 2021   23:09 Diperbarui: 19 April 2021   23:53 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramadan Masa Kecil: Dari Takut Masuk Neraka Sampai, Takut Masuk Surga

 

Saya tidak terlalu ingat detail-detail Ramadan yang saya alami semasa saya kecil. Saya hanya ingat bahwa kami, bocah-bocah kampung sangat menikmati waktu. Menikmati pagi sebagaimana pagi. Menikmati siang-sebagaimana siang, sore sebagaimana sore dan malam sebagaimana malam.

Sejujurnya dalam hal beribadah pada bulan Ramadan, tidak ada yang bisa saya kenang. Kami seperti bocah kampung sahur ya sahur, sekolah ya sekolah, ngaji ya ngaji, buka puasa ya buka puasa, tarawih ya tarawih, tadarus ya tadarus. Tapi ada hal paling setidaknya membuat saya tidak terlalu suka -- mengisi buku amal baik sebagai tugas sekolah!

Adapun yang terkenang dalam bulan Ramadan kala itu adalah bagaimana kami menikmati pagi sebagaimana pagi. Setelah sahur kami tidak tidur. Kami berkumpul, jalan-jalan pagi di sekitar desa, di bantaran kali, di sawah-sawah. Menikmati udara yang segar dan fajar kemerahan yang semakin terang. Tentu kami hanya bocah ingusan bukan penyair yang menikmati pagi dan embunya yang liris. Maka kami menghingarkan pagi dengan perang mercon!

Beberapa diantara kami yang kepergok main mercon tentu mendapat damprat, "Kamu ini uang susah-susah dicari malah dibakar!" atau kuping kami kena jewer, "kalau tanganmu atau tangannya temanmu meledak, bagaimana?" Namun, beberapa orang tua setelah memarahi kami dengan lembutnya akan menasehati, "Kamu orang Jawa. Jawa itu artinya ngerti. Kalau kamu enggak mau dilempar petasan jangan ngelempar petasan. Kalau kamu enggak mau sakit jangan menyakiti"

Agaknya ketika saya besar sekarang, kegiatan main mercon dan dapat dampratan diberi nasehat ada sisi positifnya. Saya jadi susah direkrut jadi teroris! Meskipun iming-imingnya surga sekalipun!

Bahkan semasa kecil diantara teman-teman saya yang takut masuk neraka, saya malah takut masuk kedua-duanya. Takut masuk neraka, juga masuk surga. Entah siapa yang mempengaruhi saya berpikir demikian, tetapi yang saya ingat saya tidak pernah mengenal siapa Abu Nawas. Agaknya saya baru mengenal beliau tujuh tahun silam ketika doa beliau menjadi pujian populer di desa kami. "Saya tidak kuat masuk neraka Tuhan, tetapi saya tidak pantas masuk surga."

Saya juga lupa bagaimana alasan tepatnya yang membuat kami sampai takut masuk neraka. Apakah disebabkan guru agama kami di sekolahan, kyai kampung kami, atau orang tua kami sering wanti-wanti jangan ini dan itu nanti dosa dan masuk neraka. Di Neraka nanti kamu disiksa dengan siksa yang pedih! Lantas, barangkali setelah mendengar alasan itu kami tidak kuat membayangkan, "wah kelilipan sambermoto saja mata saya sudah pedih, apalagi masuk neraka?". Toh ancaman seperti itu tidak terlalu membuat kami jera. Di pagi selanjutnya curi-curi waktu, cari tempat aman kami tetap main mercon. Pikir kami, "kalau tidak boleh main mercon di jalan ya main mercon di sekolah." Kalau main mercon dilarang kami cari kegiatan lain -- adu cupang atau adu cangcorang.

Siang sepulang sekolah kami tidak tidur. Nanggung. Kami bersepeda. Kadang mencari jagung jali di sekitar gereja desa sebelah untuk bikin gelang. Kadang cari gleges atau kembang tebu untuk diterbang-terbangkan. Kadang ngetapel burung. Kadang cari tutup botol sirup atau cari mangkokan seped untuk bikin gasing. Kadang memancing atau gogo di kali sampai ditakut-takuti, "awas diculik wewe gombel!"

Sore kami ngaji. Adapun yang berbeda dari bulan lainnya kalau Ramadan, Pak Kyai ngaji kitab dan kami main gobak sodor di sekitar surau. Dan kalau waktunya azan asar kami berebutan jadi muazin. Dulu, kesan menjadi muazin sangat keren. Kami seolah-olah mendapat pengakuan bahwa kami "sudah dewasa".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun