Macet, apa yang anda pikirkan jika ada kata tersebut? saya yakin anda akan merasa kurang simpatik dan bereaksi negatif jika kata tersebut muncul. Tanggapan atas reaksi tersebut dapat dikatakan sebagai hal yang wajar, karena memang kita tahu ini adalah persoalan yang sudah lama dan cukup pelik yang ada di negara kita khususnya kota-kota besar seperti Jakarta. Berbagai solusipun dikerahkan dan dilakukan untuk setidaknya dapat mengurangi masalah kemacetan tersebut karena memang dampak yang ditimbulkannya cukup besar terlebih Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara sekaligus pusat kegiatan di Indonesia. Setelah berbagai solusi dilakukan hingga saat ini, namun masalah tersebut masih saja melanda Jakarta. Untuk itu diperlukan solusi yang lebih baik, dalam hal ini dilakukanlah rencana pembangunan alat transportasi massal Monorail yang lebih modern dan akan memberikan kenyamanan juga waktu tempuh perjalanan yang lebih singkat. Namun saat pelaksanaannya pun bukannya tanpa masalah, karena sampai saat ini pembangunannya bisa dikatakan masih mangkrak dari yang seharusnya. Dan berdasarkan isu yang berkembang bahwa diperkirakan ada unsur politik pada persoalan infrastruktur ini.
Untuk membahas lebih lanjut masalah ini, hari Sabtu yang lalu (24/5) Kompasiana dan PT. Jakarta Monorail mengadakan acara Kompasiana Nangkring bersama PT Monorail Jakarta (PT.JM) yang bertempat di Outback Steak House, Kuningan City, Jakarta. Perbincangan yang bertajuk “Jakarta Monorail: Persoalan Infrastruktur atau Politik?” ini dihadiri oleh 4 orang narasumber, diantaranya John Aryananda (Dirut PT. JM), Lukas Hutagalung (Ditjen Kerjasama infrastruktur BAPPENAS), Cipta Lesmana (pengamat politik), dan Dharmaningtyas (pengamat transportasi) yang dipandu oleh Laksono Hari Wiwoho (Editor Megapolitan KOMPAS.com).
[caption id="attachment_309030" align="aligncenter" width="640" caption="Perbincangan antara Para Narasumber yang hadir pada acara Kompasiana Nangkring bersama PT. JM "][/caption]
Perbincangan tentang pembangunan transportasi massal di Jakarta yang modern dan nyaman ini cukup menarik dan akan selalu menarik karena ada saja hal yang terjadi dalam perjalanan pelaksanaan pembangunannya. Dalam pembahasan terlihat sekali dilema dalam pengadaan monorail ini karena maraknya isu politisasi dibalik proyek ini yang selalu mandek dan terhenti ditengah jalan, terlebih menjelang akhir masa jabatan Jokowi sebagai DKI-1 saat ini.
Menurut Jhon Aryananda (Dirut PT. JM) seluruh kota Jakarta harus memiliki transportasi yang terintegrasi dan bisa diakses publik mulai dari rumah, ke arteri hingga ke tempat tujuan, sehingga dapat lebih memberikan kemudahan dalam aksesnya. Untuk pembangunannya sendiri masih menunggu lampu hijau dari pemerintah pusat. Namun beliau berharap pemerintah pusat segera melakukan reformasi birokrasi yang dapat mendorong realisasi dari proyek monorailnya itu.
Menurut Lukas Hutagalung (Ditjen Kerjasama infrastruktur BAPPENAS) pembangunan monorail adalah bagian dari PPP (Public Private Partnership) antara Pemerintah dan swasta dalam pengadaan infrastruktur yang dibutuhkan oleh orang banyak dan transportasi termasuk di dalamnya. Untuk prosesnya sendiri memang harus ada pengawasan yang baik antara kedua pihak karena tujuannya adalah untuk jangka panjang (long term). Dalam hal pendanaan dan biaya menurutnya proyek ini mengalami peningkatan yang cukup drastis dan kian membengkak. Anggaran proyek yang pada awalnya tahun 2008/2009 hanya 4,5 miliar kini membengkak menjadi 12 triliun. Ini yang menjadi salah satu hambatan dari kelanjutan proyek karena negosiasi yang tidak kunjung menemui titik temu. Dan karena semakin tertunda, maka akan semakin tinggi biaya infrastrukturnya.
Sedangkan pendapat dari pengamat transportasi Dharmanintyas, transportasi monorail yang kelak akan menjadi transportasi massal harus bisa menjalankan perannya dengan baik, harus bisa menampung penumpang secara effisien dan efektif untuk menghubungkan antara daerah asal dan daerah tujuan.
Sedangkan Prof. Cipta Lesmana sebagai pengamat politik menanggapi kalau pernyataan yang menyebutkan bahwa terhambatnya dan melambatnya pembangunan monorail akibat dari sikap Ahok itu hanya alasan, karena menurutnya pembangunan yang sama juga terjadi di Bangkok dan Malaysia, namun disana ternyata pembangunan berjalan dengan baik dan lancar-lancar saja hingga proyek itu selesai. Dan beliau justru menganggap kelemahan birokrasi pemerintahlah yang harus direformasi dan dirubah terkait makin maraknya korupsi yang terjadi akhir-akhir ini.
Jhon Aryananda juga menambahkan bahwa pembangunan monorail itu sama dengan pembangunan sebuah sistem yang akan dibutuhkan dalam jangka panjang untuk mengembangkan kota Jakarta yang kelak benar-benar menjadi kota yang nyaman untuk tempat tinggal dan tempat berkegiatan seperti halnya BSD.
Pada akhir pembicaraan, semua narasumber sepakat bahwa pembangunan monorail harus segera dilaksanakan dan dilanjutkan kembali sehingga hasilnya juga dapat segera terrealisasi. Kebijakan dari pemerintah pusat serta koordinasi yang solid dengan pemprov DKI selaku pelaksana juga diharapkan berjalan dengan baik karena itu adalah kunci utamanya.
Pada dasarnya semua solusi bisa dijalankan dengan baik asalkan dapat diniatkan dengan sungguh-sungguh, tidak menyimpang dari koridor yang sudah diyakini sejak awal, dan ditunjang tentunya dengan kerjasama yang baik dari segi perencanaan dan pelaksana infrastrukturnya, para pengguna jalan dan pengelolanya, pembangun dan juga pengaturnya (pemerintah). Kita do'akan saja semoga monorail dapat segera terrealisasi dan dapat dijadikan moda transportasi baru yang dapat membantu mengurangi angka kemacetan ibu kota Jakarta. Sehingga kelak Jakarta mampu menjadi kota yang nyaman, tertib dan kebanggaan Indonesia maupun dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H