2. Sejarah Pendidikan Pasca Kemerdekaan
a. Masa Orde Lama
Pada masa pemerintahan orde lama, pemerintah mengeluarkan kebijakan secara sentralistik, kebijakan diarahkan kepada proses indoktrinisasi dan menolak budaya luar. Kependidikan berorientasi untuk melakukan pembangunan manusia indonesia, Pendidikan diarahkan untuk memenuhi kemandirian ekonomi indonesia.
b. Masa Orde Baru
Pendidikan pada masa orde baru berkedudukan sebagai individu yang masif, dengan hanya menghapal teori- teori, tanpa terdapat pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif serta psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Sehingga kurikulum ini hanya menekankan pembuatan partisipan didik hanya dari segi intelektual (kognitif) saja. Pendidikan pada masa orde baru mengusung pandangan hidup "keseragaman" sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada periode ini pemerintah memunculkan program EBTANAS dan UMPTN yang merupakan seleksi untuk penyeragaman intelektualitas peserta didik. (Hudaidah Safei, 2020: 10).
3. Sejarah Pendidikan Masa Reformasi Hingga Saat Ini
Selanjutnya pada masa reformasi program Pendidikan pemerintah memunculkan kurikulum KTSP, dimana kurikulum ini memberikan porsi pengembangan lebih banyak kepada guru selaku pengembang pembelajaran di sekolah, sama halnya dengan memberikan hak otomi kepada guru untuk mengembangkan wilanyahnya namun tetap dalam kontrol pemerintah/pusat. Kekurangan dari kurikulum ini adalah kurangnya muatan karakter, dan terlalu menitikberatkan kognitif, terjadinya fenomena kenakalan remaja, gejolak masyarakat (narkoba, korupsi), dan lain sebagainya. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan kebijakan kurikulum 2013, kurikulum 2013 revisi hingga kurikulum merdeka, namun dalam perkembangannya kurikulum masih belum dapat berjalan maksimal sesuai tujuan awal banyak kendala dalam pelaksanaanya seperti sarana dan prasana yang belum mendukung, guru yang mengajar masih dengan metode konvensional, implementasi pendidikan karakter belum maksimal, kesenjangan dunia pendidikan dalam setiap kota, kurang memanfaatkan sumber belajar yang ada, dan sebagainya.
Dari pemaparan diatas dapat diperhatikan bahwa pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia dari masa ke masa mengalami permasalahan yang berbeda-beda. Peserta didik tidak diberikan kebebasan untuk dapat berkembang. Pendidikan hanya dijalankan untuk tujuan tertentu, bahkan ketika Indonesia telah merdeka, peserta didik lebih terfokus untuk mengejar materi tanpa diimbangi softskill. Selanjutnya, pada perkembang dunia pendidikan banyak memunculkan model-model pendidikan yang variatif. Model pendidikan yang berkembang memiliki ide gagasan mengenai pemfokusan pembelajaran kepada peserta didik, namun dalam pratiknya model-model pendidikan yang berkembang hingga saat ini belum bisa di laksanakan dengan maksimal, adapun model pendidikan di Indonesia yang dapat digunakan untuk melepaskan belenggu yang belum memerdekakan peserta didik adalah konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara (KHD) yang memanusiakan manusia dengan konsep sistem among yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian bab Peranan Ki Hadjar Dewantara.
B. Perananan Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan (Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan)
Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara (KHD) lahir pada 2 Mei 1889 adalah Bapak Pendidikan Indonesia. KHD merupakan putra keempat dari pasangan RM Soerjaningrat dan putra dari permaisuri Sri Paku Alam III. KHD pada saat masa kanak-kanak hingga masa muda memiliki nama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat, namun setelah masa pengasingan di Belanda gelar kebangsaannya tidak lagi dipakai, karena ingin lebih dekat dengan rakyat (Dela Khoirul Ainia, 2020; 97). KHD, sebelumnya KHD pernah menjadi seorang politikus dan jurnalis yang puncak karirnya saat menjadi wartawan ketika menulis "Als ik eens Nederlander was" yang bertujuan mengkitik pemerintah Belanda tentang perayaan kemerdekaan Belanda yang di rayakan di negara jajahan yakni Indonesia.
KHD memiliki tekad kuat untuk memajukan pendidikan di Indonesia yang dibuktikan dengan perjuangannya sejak masa penjajahan Belanda. Menurut KHD pendidikan pada masa Belanda tidak mencerdaskan, melemahkan semangat juang bangsa, hanya mendidik manusia untuk tergantung pada nasib dan hanya bersikap pasif (Marihandono, 2017). Selain itu, pendidikan Belanda dari Politik Etis hanya untuk golongan tertentu (bangsawan), hanya sebagai pemenuhan tenaga rendah Belanda dan terdapat diskriminasi (Erwin Siregar, 2016;23). Melihat keadaan itu, KHD mengambil langkah non kooperatif yakni melakukan perjuangan politik di luar pemerintahan kolonial dengan memlilih mendirikan Sekolah Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta (Suhartono Wiryopranoto, dkk. 2017;21).