Sampai di situ, saya mulai memahami, bahwa jelas Karang Taruna bukan organisasi partisan.
Ada juga Dasa Sakti Karang Taruna, mungkin semacam kode etik/prinsip dasar. Poin ke-4 menyebutkan; Karang Taruna berbentuk otonom dalam arti berkapasitas menyelenggarakan kegiatan kesejahteraan sosial untuk masyarakatnya tanpa intervensi dari pihak manapun. Namun yang lebih tegas mungkin poin ke-5, menyebutkan; Karang Taruna bersifat non partisan (independen) terutama dalam pendirian politiknya yang hanya untuk kepentingan kesejahteraan sosial masyarakat.
Akhirnya sampailah pada pertanyaan di benak saya; Mau dibawa ke mana, atau tepatnya mau dibawa ke calon mana Karang Taruna di Sumatera Utara?
Saya pribadi sepertinya sependapat dengan pernyataan Ketua Karang Taruna Kabupaten Deliserang, Hendry Nelson Pasaribu, bahwa untuk melaksanakan amanat sesuai Peraturan Menteri Sosial dan dasa Sakti Karang Taruna, pengurus sejatinya dapat melakukan strategi pendekatan ke semua calon kepala daerah demi kesejahteraan sosial masyarakat, tapi bukan pernyataan dukungan.
Berdiskusilah dengan pasangan calon nomor 1, hal yang sama harus dilakukan juga ke nomor 2. Bukan memberi pernyataan dukungan, tapi sekadar menyerap aspirasi, memberi saran atau masukan, sehingga siapapun nantinya yang terpilih tetap punya kedekatan dan persepsi yang sama dengan Karang Taruna. Toh, secara otomatis kepala daerah terpilih nanti akan menjadi pembina Karang Taruna.
Dengan pendewasaan organisasi, individu-individu di Karang Taruna lintas wilayah bisa memahami bahwa Karang Taruna bukan organisasi politik, bukan organisasi musiman yang tumbuh hanya saat ada kepentingan kampanye calon, namun tetap bisa mempertahankan posisinya sebagai mitra pemerintah yang selalu siap menjadi penyelenggara sosial.
Aditya Karya Mahatvayodha. ##
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H