SAYA tergelitik dengan satu celetukan teman dalam obrolan di kantor, soal kondisi Kota Medan yang belakangan kerap dilanda banjir serta banyak jalan yang rusak. “Namanya juga Medan rumah kita, ya urus saja sendiri,” katanya.
Yang dia maksud, karena rumah sendiri, ya penghuninya lah yang harus mengurus dan mengatur. “Kalau parit di depan rumah tumpat, ya dikorek sendiri. Kalau jalan rusak, perbaiki sendiri,” demikian jelasnya.
Teman tadi mungkin menyitir jargon “Medan Rumah Kita” yang diusung pasangan Dzulmi Eldin - Akhyar Nasution sejak mereka mencalonkan diri menjadi Walikota/Wakil Walikota Medan periode 2015-2020. Setelah mereka terpilih, jargon tadi memang sering dikait-kaitkan dengan kondisi Kota Medan terkini, yang belum mencerminkan suasana nyaman bagi warganya.
Saya makin tergelitik, ketika di hari yang sama membaca satu tulisan wartawan senior Choking Susilo Sakeh di halaman opini koran Analisa, judulnya ‘BENAR’, Jangan Bikin Gaduh!
Pasangan ‘Benar’ (Bang Eldin dan Akhyar), kata Bang Choking di tulisan itu, memikul sejumlah beban berat sebagai Walikota/Wakil Walikota Medan periode 2015-2020. Salah satu bebannya adalah fakta bahwa Kota Medan selama delapan tahun dalam kondisi ‘auto-pilot’. Yakni sejak Abdillah diberhentikan sebagai Walikota Medan pada Mei 2008 karena masalah hukum, sampai kemudian Eldin dilantik sebagai Walikota Medan hasil Pilkada 2015.
Selama delapan tahun itu, Kota Medan dipimpin oleh delapan Walikota, baik sebagai Pelaksana Tugas, Pejabat ataupun Walikota Definitif. Dengan masa kepemimpinan masing-masing sekitar satu tahun, membuat pembangunan kota, terutama menyangkut kesejahteraan dan hajat hidup masyarakat, praktis terhenti sama sekali. Ini bisa dimaklumi, karena kedelapan Walkota Medan itu pasti lebih mendahulukan kepentingannya baik untuk pemenangan dirinya pada pilkada maupun pemenangan kelompoknya pada pilkada yang mesti dihadapinya.
Tidaklah mengherankan, jika kemudian masalah-masalah seperti kualitas jalan, drainase dan fasilitas umum kini menjadi beban derita warga. Sebab, selama delapan tahun masalah ini tak pernah disikapi secara serius oleh pemimpin kota. (Lengkapnya baca di sini : http://harian.analisadaily.com/opini/news/benar-jangan-bikin-gaduh/275347/2016/10/13)
Auto-pilot, kata yang saya garisbawahi. Karena secara kebetulan saya baru berbincang dengan teman kantor tadi, yang mengatakan penghuni harus mengurus dan mengatur rumahnya sendiri!
Saya jadi merenung, dan meghubung-hubungkan kata auto-pilot dengan mengurus rumah sendiri. Jadi, apakah kita tidak usah berharap pada pemimpin kota? Lalu apa gunanya punya pemimpin? Wahh!!
Mudah-mudahan kekhawatiran itu tidak sampai terjadi. Saya berbaik sangka, bahwa Eldin-Akhyar masih berupaya berbenah di masa kepemimpinanya yang baru beberapa bulan. Toh sekarang jalan-jalan di sejumlah wilayah kota tengah diperbaiki, drainase atau parit-parit tengah dibenahi.
Dan mudah-mudahan pula Eldin-Akhyar bisa menjawab tantangan untuk mewujudkan legitimasi mereka di mata masyarakat, menuntuskan semua persoalan tersebut. Siapa yang mau ya, jadi pemimpin tapi tak dianggap oleh rakyatnya.
Akhirnya, saya coba ambil kesimpulan dari celetukan teman tadi. Bolehlah warga Medan mengurus rumahnya sendiri, dalam arti positif mengaktifkan gotong-royong, membenahi persoalan-persoalan kecil di lingkungannya seperti parit tersumbat, sampah, dsb, bukan semata-mata mengharapkan petugas kota yang mengerjakan. Kecuali kalau warga sendiri sudah tidak bisa mengatasi, ya pemerintah kota jangan pula tinggal diam. #
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H