Ia juga mengingatkan, pembakaran kitab suci yang terjadi pada era keterbukaan informasi, dapat memicu konflik dan kekerasan. Bahkan, bisa berimbas pada pembunuhan secara masal yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan peradaban manusia, "Agama seharusnya lebih diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari baik secara pribadi maupun secara universal," tegasnya.
Singgih memaparkan solusi agar kejadian itu tidak berulang. Ia mengingatkan agar para pemeluk agama bersikap dan berperilaku yang baik, agar bisa memberikan manfaat kepada orang lain. "Sehingga dalam konteks itu, agama tidak mudah untuk dijadikan sebagai kampanye politik yang membangkitkan kebencian kelompok yang berbeda," urainya.
Selain itu, tambah Singgih, jangan sampai kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi digunakan untuk memancing kemarahan atau reaksi dari kelompok lain yang bersifat destruktif. Kebebasan berekspresi harus bisa dipertanggungjawabkan dan juga bisa dijiwai oleh semangat tepo sliro atau mawas diri, "Jika kita tidak mau dicubit maka jangan sekali-kali mencubit orang lain. Jika kita tidak mau disakiti, jangan menyakiti orang lain. Kita harus punya perasaan empati," pungkasnya.