Kemerdekaan Indonesia lahir bukan saja melalui proses olah fisik yang heroik. Terapi melalui proses olah batin dan akal sehat yang mendalam tentang kebangsaan Indonesia yang menyatu dengan tradisi luhur bangsa. Kesemuanya tidak hanya digali dari sumber keagungan dan kemurnian terdalam dan mengalir dalam tradisi anak negeri dan mengendap sebagai mutiara kebijakan dan keluhuran, tetapi juga diformulasikan secara genius dan elegan oleh Bung Karno menjadi Pancasila yang digali dari bumi Indonesia sendiri.
Kekekalan rumusan Pancasila menjadi bukti bahwa para Bapak Bangsa mememiliki kebeningan nurani dan mata hati dalam memproyeksikan bangunan politik ideal Indonesia kedepan, yakni Indonesia Raya. Sayangnya, penghormatan terhadap pancasila justru menempatkannya sebatas teks sakral yang kosong, seolah-olah dalam situasi vakum ideologi.
Ketika para pendiri bangsa menyusun Pancasila. Filsafat bangsa ini diserap dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yang diakui kebenarannya secara universal. Ia adalah rekam jejak kebijakan lokal, yang telah hidup sejak abad pertengahan. Tantangannya, generasi muda kini tak mengenal Pancasila akibat reformasi meninggalkan Pancasila di ruang yang gelap. Terabaikan. Lantas, di saat bangsa Indonesia melaju tanpa jati diri dalam politik global, sudah saatnya generasi muda mengenali sekaligus menjalankannya.
Untuk itu, 1 Juni yang merupakan hari lahir Pancasila menjadi momentum membangkitkan ingatan kolektif bangsa, bahwa Pancasila merupakan kekuatan bangsa Indonesia untuk meraih kembali cita-citanya: mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Bukan persoalan mudah mengembalikan bangsa ini menjalankan kembali Pancasila. Tekanan global, ketidakberanian, dan kepentingan pribadi dan golongan seperti melupakan elit politik dari tujuan bangsa. Pancasila sebagai pedoman bangsa diabaikan oleh para elit politik. Dan para pemuda menganggap Pancasila hanyalah hiasan dinding sekolah.
Tak ada yang berubah dari Pancasila ketika reformasi bergulir, baik dalam konteks ketatanegaraan, kebangsaan, kemasyarakatan, maupun akademik. Sejak pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Â dan kini Joko Widodo, Pancasila tetap menjadi dasar dan ideologi negara, meskipun sebatas pernyataan konstitusi.
Karena Pancasila ada dalam konstitusi (UUD 1945), maka berdasarkan stufenbau der rechtstheorie (teori pertingkatan hukum) Hans Kelsen, Pancasila berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar). Grundnorm adalah kaidah tertinggi, fundamental, dan menjadi inti (kern) setiap tatanan hukum dan negara. Grundnorm, disebut juga staas grundnorm, berada di atas Undang-Undang Dasar.
Dalam ajaran mazhab sejarah hukum yang dipelopori Friedrich Carl von Savigny dan bertitik tolak pada volksgeist (jiwa bangsa), Pancasila dapat digolongkan sebagai volksgeist bangsa Indonesia. Meskipun demikian, muncul fenomena di berbagai lapisan masyarakat yang hampir tidak pernah lagi mengutip Pancasila dalam pandangannya. Pancasila seperti tenggelam, tidak perlu dimunculkan lagi di ruang publik.
Pancasila pun terpinggirkan dan terasing dari dinamika kehidupan bangsa. Dasar negara ini seperti tidak dibutuhkan, baik dalam kehidupan formal-kenegaraan maupun masyarakat sehari-hari. Di ruang sepi, Pancasila tak ditinggalkan sepenuhnya. Ada keinginan sebagian masyarakat untuk merevitalisasi eksistensi Pancasila, tetapi belum mengerucut jadi gerakan.
Dalam sejarah ketatanegaraan, revitalisasi Pancasila sebenarnya pernah berlangsung. Gelombang pertama ketika Pancasila lahir saat Soekarno berpidato di depan BPUPKI, 1 Juni 1945. Gelombang kedua, ketika Konstituante, pasca- Pemilu 1955, memperdebatkan apakah Pancasila dipertahankan sebagai dasar negara atau diganti ideologi lain.
Keberhasilan menempatkan kembali Pancasila sangat tergantung pada keteladanan para elite politik dalam menegakkan nilai-nilai Pancasila. Ini berarti lahirnya jiwa negarawan yang memahami tanda-tanda zaman sehingga dapat membawa bangsa melewati masa-masa sulit. Keadaan saat ini jauh dari panggang dengan api, dengan cita-cita para pendiri bangsa mengenai Pancasila.
Sebuah cacatan kecil Bung Hatta, menuliskan begini: "Pancasila adalah pedoman dalam menuju Indonesia yang berdaulat, bahagia, sejahtera, dan damai. Apa kebahagiaan? Apabila rakyat merasa hidupnya berbahagia. Cukup makan, pakaian, tempat tinggal (rumah) memuaskan, kesehatan terpelihara, anak-anak dapat disekolahkan, ada perasaan hari kemudian terpelihara."