Saya sering bertanya dalam hati kenapa Indonesia tidak pernah punya presiden yang berkumis? Yang saya maksud tentu adalah presiden laki-laki. Kalau sekelas Gubernur, kita tahu banyak yang berkumis atau brengosan. Bahkan, ada salah satu Gubernur menjadikan kumisnya sebagai ikon saat melakukan kampanye. Hebatnya, Gubernur berkumis itu terpilih dalam Pemilukada. Sedangkan untuk pemilihan presiden, sampai saat ini tidak pernah ada yang menjadikan kumis sebagai ikon kampanyenya. Bahkan, seingat saya, hanya Jusuf Kalla yang tercatat sebagai calon presiden yang berkumis walaupun hanya sederet tipis di atas bibir. Selebihnya, plontos!
Teman saya punya jawaban atas pertanyaan itu. Menurut teorinya, hal ini disebabkan karena Indonesia masih sangat tergantung pada Amerika Serikat (AS). Lho, kok? Direspon dengan rasa penasaran begitu, teman yang satu ini malah sengaja menahan jawabannya. Dia seperti menikmati keheranan yang menggantung di ujung lidah saya. Tangannya meraih cangkir kopi ketiga. Lantas, setelah melepuskan asap Dji Sam Soe, dia meneruskan teorinya.
Menurut teman saya, hal ini ada hubungannya dengan trauma AS terhadap Hitler. Kita tahu Hitler meminpin Jerman dan mengawali Perang Dunia II dengan menduduki Polandia. Lalu seluruh dunia terlihat baku hantam yang menewaskan jutaan orang. Ketika berkuasa, Hitler memerintahkan militernya untuk membasmi jutaan Yahudi dengan bengis. Dalam perang itu, AS dan sekutunya menang, dan Hitler dikabarkan mati bunuh diri bersama kekasihnya Eva Braun di bunkernya. Anda tentu masih ingat wajah Hitler : lelaki bertampang culun dengan kumis cuma separuh.
Setelah itu, AS terlibat perang dingin. Politik kapitalisme yang didukung AS berhadapan dengan paham komunis yang dipimpin Uni Sovyet. Salah satu yang mengibarkan paham komunis di Sovyet adalah Vladimir Lenin, dengan ajaran Leninisme. Lagi-lagi, Lenin adalah lelaki berkumis dengan kepala botak di depan. Sementara pada saat perang dingin dengan AS dimulai, Uni Sovyet tengah dipimpin Stalin. Bentuk tubuh Stalin tinggi besar, dengan rambut tebal dan –sekali lagi— dengan kumis yang juga tebal.
Di benua Amerika sendiri, AS berhadapan dengan Fidel Castro. Setelah menggulingkan rezim Batista, Castro memimpin Kuba dengan caranya. ASÂ membenci pemerintahan Castro dan bermaksud menggulingkannya. Sejarah mengenal peristiwa Teluk Babi, sebuah invasi militer inisiatif AS yang bermaksud menggulingkan pemerintahan Castro. Invasi itu gagal total dan menjadi noda hitam dalam pemerintahan Kennedy. Castro kemana-mana selalu menggenakan kemeja hijau militer, lengkap dengan topi. Yang khas dari lelaki ini, wajahnya dipenuhi jengot dan kumis.
Di Timur Tengah ada Ayatullah Khomeini yang dibenci AS. Pemimpin Iran ini berhasil menggulingkan kekuasaan Syah Reza Pahlevi, sekutu AS paling dekat di Timur Tengah. Lalu pemerintahan Iran menjadi pengkritik AS nomor satu. Sebagai pemimpin Islam, Khomeini memiliki jangut yang lebat dan kharismatik. Kini Iran dipimpin oleh Ahmadinejad. Kita tahu bagaimana Ahmadinejad sering melontarkan kritik pedas terhadap AS. Semua kebijakan luar negeri Iran digunakan untuk membendung langkah AS. Bahkan kini AS mengancam Iran akan menyerangnya jika tidak tunduk melepas teknologi nuklirnya. Ahmadinejad tidak bergeming, dan terus mengkritik AS. Sekali lagi, Ahmadinejad adalah presiden yang berkumis!
Mau contoh presiden berkumis yang menjadi musuh AS lagi?, tanya teman saya. Lalu dia melanjutkan tanpa menunggu jawaban saya. Masih hafal wajah Sadam Husein kan? Presiden Bush menyerang Irak, bukan karena Irak memiliki senjata memusnah masal. Toh, sampai sekarang tuduhan itu tidak terbukti. Dan memang AS juga tahu, tidak ada senjata pemusnah masal di Irak. Alasan Bush sebetulnya, kata teman saya meyakinkan, karena Sadam Husein berkumis!
Tapi, sergah saya, AS juga pernah punya Presiden yang berkumis. "Ingat wajah Abraham Lincoln, kan?," tanya saya. Tapi dengan enteng teman itu menjawab. "Ini bisa dianggap pengecualian," katanya.
Jadi, menurut teman saya, kenapa Indonesia tidak juga ada presiden yang berkumis? Karena secara politis dan ekonomi kita masih bergantung pada AS. "Apakah hanya karena kumis presiden, kamu rela Indonesia diserang AS seperti mereka menyerang Irak?"
Hmmm, teori teman saya ini masuk akal juga. Jika kita punya presiden yang berkumis, mungkin AS akan mengganggap kita sebagai musuh. Lalu menyerang Indonesia seperti mereka meluluhlantakan Irak, membenci Kuba atau memusuhi Iran . Tapi, menurut saya, yang lebih repot lagi, nantinya dikhawatirkan rakyat Indonesia sulit membedakan antara presidennya dan warung soto di jalan Blora!
Eko Kuntadhi