Untung saja Dilan dibekali keahlian meramu kata-kata gombal yang tak pasaran. Itu yang memaksa saya bertahan duduk di kursi nonton sampai film bubar. Bila tidak, saya sudah angkat kaki. Jenuh.
Dari semua adegan, Â saya paling benci-benci-benciii bagian yang keras-keras: Â tampar menampar, Â berkelahi, Â maki-maki pelacur, Dilan marah-marah di ruang kepsek, serangan geng ke sekolah. Sepertinya produsen Dilan terlalu banyak minum sinetron alay hari ini.
Saya terbius ikut beli tiket karena membayangkan AADC1. Ada ceritanya. Ada isinya. Ada bau Chairil Anwar-nya. Ada selipan politik khas Orba. Ini beda. Saya tak menemukan sesuatu di sini. Dilan 1990 Â memoles cerita agar punya citarasa ala AADC1 sebatas merekam kamar Dilan yang berantakan dengan buku dan poster band pujaan.
Saya juga enggak tau seperti apa aroma dan panorama Bandung 1990. Tapi saya duga enggak seperti di film Dilan. Rambut dan pipi Milea cs terlalu milenial. Terlalu bening dan wangi. Cukuran rambut guru-guru pria juga enggak ala Ridwal Kamil yang numpang lewat di sini. Belum lagi ucapan assalamualaikum tiap masuk rumah. Bukan punten, ya?  Assalamualaikum itu bukan produk 90-an, kan? Begitupun aksi cium tangan. Rasanya lebih cocok ini barang dikasih judul  "Dilan 2018" dengan sedikit sentuhan 90-an: honda butut Dilan. Â
Akhirukalam, film ini adalah panggung buat Dilan semata. Forum buat pertunjukan kemampuannya olah kata. Lucu sih. Beberapa kali saya ketawa. Tapi di luar sosok Dilan, semuanya bertugas sebagai ornamen saja. Tak ada pun tak apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H