Mohon tunggu...
Eko Wahyudi
Eko Wahyudi Mohon Tunggu... -

anak lereng gunung, kesehariannya "momong" anak-anak tetangga, yang ingin berbagi, belajar dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya

Selanjutnya

Tutup

Money

Modal itu bernama"Kepercayaan"

20 Maret 2012   05:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:43 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari pada wira – wiri cari kerja, mending…wirausaha…”. Itulah sepenggal bunyi iklan layanan masyarakat yang akhir – akhir ini ditayangkan di beberapa stasiun televisi. Slogan tersebut sangat mudah untuk diucapkan, tetapi tidak semudah itu ketika mempraktikkan. Sering kita mendengar tentang keluh kesah orang yang sedang mencari kerja. Ketika disarankan untuk buka usaha saja atau berwira usaha, sebagian besar dari mereka akan menjawab “modalnya…?”. Dengan berbagai alasan pada akhirnya akan “mengkambing hitamkan” permodalan. Dan ironisnya hampir sebagian besar dari mereka (yang diminta untuk membuka usaha) mengasumsikan modal itu dengan sejumlah uang. Lalu apakah mereka salah bila menganggap modal itu dengan “segepok” fresh money ?. Tentu tidak, karena tanpa uang seseorang akan sulit untuk memulai usaha. Namun demikian uang bukanlah modal utama dan pertama. Modal yang sesungguhnya adalah Niat dan Kepercayaan.

Saya masih ingat betul dengan cerita seorang WNI Keturunan yang menceritakan asal muasal beliau memulai usaha. Saya bertemu beliau di sebuah toko fariasi mobil ketika saya diminta tolong saudara saya untuk memasangkan kaca film mobilnya. Sambil menunggu mobil dipasangi kaca film, saya duduk sendirian sembari menyaksikan para karyawan mengerjakan tugasnya. Disaat sendirian itu, saya didekati seseorang yang kemudian mengajak saya ngobrol. Awalnya memang kami agak kaku, karena memang sebelumnya kami belum pernah ketemu. Namun dari cara beliau berbicara, saya bisa menyimpulkan bahwa beliau orang yang supel dan terbuka. Karena saya sudah merasa enjoy ngobrol dengan beliau, saya memberanikan diri untuk bertanya kepada beliau tentang kesuksesan sebagian warga keturunan dalam berusaha.

“Maaf om…, apa sih rahasia kesuksesan warga keturunan dalam ber “wirausaha”. Tanyaku pada waktu.

“Rahasianya adalah ketekunan, disiplin dan tidak menyerahkan/mempercayakan usahanya  kepada karyawan sepenuhnya”. Terang beliau yang ternyata adalah mertua dari si pemilik toko variasi.

“Saya melihat orang – orang pribumi yang sudah sukses tidak mampu mempertahankan kesuksesannya karena terlalu percaya kepada karyawannya, sementara dia sendiri malah  santai – santai di rumah. Karena setekun apapun yang namanya karyawan ya tetap saja karyawan”. Lanjutnya.

“Mereka hanya berpikir sesaat yaitu bekerja dan dapat uang. Sementara seorang pelaku usaha tidak sekedar memikirkan bagaimana mendapatkan uang, tetapi juga harus memikirkan keberlangsungan usahanya”.

“Lalu bagaimana dengan permodalan om”. Tanya saya selanjutnya.

“Untuk permodalan sebenarnya modal utama adalah kepercayaan. Contohnya saya ketika saya memulai usaha”. Jelas beliau kemudian.

“Pada waktu itu kira – kira tahun 60an saya berprofesi sebagai tukang reparasi radio. Untuk mendapatkan suku cadang radio, saya kulakan ke Semarang. Karena sering belanja di sana, pada suatu saat si pemilik toko onderdil menawari saya untuk menjualkan radio model baru. Saya menolak halus penawarannya karena saya tidak punya modal. Tetapi karena memang mungkin sudah percaya kepada saya, maka saya tetap diminta membawa sebuah radio tanpa harus membayar. Benar juga belum ada sebulan radio “titipan” itu sudah laku terjual. Bulan berikutnya bersamaan dengan saya membeli onderdil, saya menyerahkan uang hasil penjualan radio tersebut. Karena saya dianggap berhasil menjual radio, maklum waktu itu masih sangat sulit menjual barang – barang elektronik, maka saya langsung diminta membawa dua buah radio. Dan benar juga dua radio itu pun bisa saya jual. Begitu seterusnya hingga sampai saat ini saya bisa memiliki toko elektronik yang cukup besar di Yogyakarta.” Terang beliau penuh kebanggaan.

“Berarti kalau dirunut dari awal benar- benar hanya modal kepercayaan ya om…”. Timpal saya kemudian.

“Benar sekali, maka kalau sudah mendapat kepercayaan, jangan disia-siakan kepercayaan tersebut.”

“Terimakasih om, pelajaran yang sangat berharga bagi saya”. Kata ku menutup obrolan waktu itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun