Tiga bulan belakangan ini benar-benar melelahkan bagi bangsa Indonesia. Pesta demokrasi serentak dalam satu hari, masa kampanye yang hampir mengikis persatuan dan kesatuan bangsa, korban kelelahan petugas Kpps, berbagai isu yang mengkotak-kotakkan bangsa menjadi dua kubu.
Bagaimana tidak, sebuah bangsa yang bersemboyan Bhinneka tunggal Ika tiba-tiba terbelah menjadi dua kubu politik yang disadari atau tidak menjadi saling mencurigai dan memusuhi. Narasi yang menggema adalah munculnya rasa kalau bukan " kami " berarti " mereka ", entah ngumpet dimana ungkapan " kita " saat itu.
Miris memang, sebuah perbedaan pilihan politik - suatu ranah yang memungkinkan koalisi dua kubu yang berseberangan demi mencapai suatu tujuan - bergeser secara brutal menjadi dua kubu panas yang saling berhadapan, satu kubu dicurigai dihuni oleh kalangan yang " jauh " dari agama, sekuler bahkan isu komunis, sementara kubu lain dicurigai didominasi oleh kalangan radikalis dan anti keragaman. Benar-benar miris untuk sebuah bangsa yang menjunjung sila ketiga Pancasila.
Terasa atau tidak peristiwa ini saling menjauhkan anak bangsa dan memendam curiga satu sama lain. Kubu yang teranggap sekuler cenderung merasa dijauhi kubu agamawan yang juga merasa terus dicurigai. Antipati menghapus simpati, itu pasti. Konsekuensinya tak akan terjadi dialog yang mencerahkan, yang terjadi adalah debat kusir politik yang saling mengalahkan.
Di pinggir gelanggang panas inilah sebenarnya ada satu entitas kekuatan lain yang terlupakan. Satu kekuatan yang tidak pernah mau masuk ke dalam ribut-ribut politik. Bukan, mereka bukan kalangan golput. Mereka berpolitik juga, tapi dengan paradigma yang nyaris tidak dipahami kalangan selain mereka. Biarlah orang yang tidak tahu mengkategorikan mereka sebagai golput. Â
Orang yang tidak tahu juga tak jarang menyamakan mereka dengan kubu yang dianggap radikalis, hanya karena keserupaan penampilan dan aksesoris. Tak sedikit yang berjubah, bergamis, peci, berjenggot dan tertarik pada hal-hal religius. Asumsi orang tak merugikan mereka, toh mereka berpenampilan seperti itu karena murni memegang ajaran yang mereka pelajari, bukan karena ciri suatu ormas.Â
Orang mencaci, mencibir atau simpati, mereka tak peduli. Tetapi coba anda tanya apakah mereka pendukung salah satu kubu ? Bukan, adalah jawaban yang teguh dan pasti. Bahkan mereka menolak dengan keras jika disama ratakan dengan salah satu kubu.
Jika anda tanya tentang sikap politik, dengan tegas mereka akan menjawab - dan itu bukan basa basi politik - bahwa ketaatan pada pemimpin adalah prinsip yang mereka pegang teguh, siapapun pemimpin yang terpilih. Sikap teguh inilah yang justru menjadikan mereka bulan-bulanan kalangan Islam politik sebagai kaum yang apatis terhadap kondisi politik umat.Â
Ditambah prinsip mereka yang sangat anti demonstrasi, bahwa kestabilan dan keamanan di bawah seorang pemimpin lebih berharga daripada satu hari demonstrasi dan kekacauan negeri. Bahkan mereka makin dicibir saat mereka mendoakan pemimpin dengan segala kebaikan.
Di tengah hiruk-pikuk dukung mendukung paslon, mereka tetap tekun belajar dan mengajar di mesjid, bekerja, berdagang bahkan menasihati saudara mereka dari kalangan Islam politik untuk menjauhi demonstrasi yang tentu saja mengundang cibiran.Â
Saat didebat anda akan mendapati mereka dengan datar menyitir beberapa hadits Nabi tentang ketaatan kepada pemimpin, anda akan percaya atau tidak bukan menjadi kepusingan mereka, toh mereka sudah menasihati.
Dengan karakter demikian kalangan ini menjadi sangat sulit bahkan tidak mungkin dibeli, apalagi disetir dengan orasi dan narasi provokatif. Kekebalan mereka sangat luar biasa terhadap sulutan emosi akibat hoaks.Â
Jangankan mengkonsumsi hoaks, waktu mereka lebih berharga untuk mengkaji kitab-kitab klasik para ulama, duduk bersimpuh di lantai masjid mencatat sambil menyimak penyampaian sang guru.Â
Dunia mereka seakan terpisah sendiri, hidup dalam kedamaian luar biasa di bawah naungan sayap malaikat yang mereka yakini sepenuhnya. Mereka akan sangat menyambut siapapun yang mau bergabung, bahkan dari kalangan sekuler untuk kembali pada Tuhan, tak ada prasyarat khusus.
Tidak perlu repot mengajari mereka tentang toleransi antar umat beragama dan keragaman, karena mereka meyakini kemanusiaan adalah universal, interaksi sosial dan ekonomi mereka tak dibatasi suku, ras dan agama. Kalangan yang berbeda agama dijamin merasa tenang hidup di antara mereka.
Satu paradigma yang mungkin menjadi sulit dipahami berbagai kalangan selain mereka, adalah keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa kemakmuran negeri ini kuncinya ada pada ketundukan pada Tuhan, bukan pada pergantian kepemimpinan. Silakan ganti pemimpin setiap tahun kalau bisa, tak ada guna bila rakyat tak tunduk pada Tuhan.Â
Kalangan sekularis tentu nyengir mencibir mereka sebagai utopis, tidak rasional. Sementara kalangan Islam politik lebih mencibir lagi sebagai kalangan yang apatis dan kolot.
Dan di tengah gonjang-ganjing tersebut, orang-orang ini pun tetap mengaji, ke masjid, bekerja, berdagang seperti biasa, bersyukur atas berapapun rezeki dari Tuhan sambil terus melantunkan doa Nabi Ibrahim untuk kemakmuran negeri yang tertulis dalam Al Quran surat Ibrahim : Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini aman sentosa...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H