Mohon tunggu...
Eko Fangohoy
Eko Fangohoy Mohon Tunggu... Editor - Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Nazaruddin dan Bab Terakhir Novel “Tirai” dari Agatha Christie

22 Juli 2011   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:28 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agatha Christie adalah seorang ratu penulis cerita kriminal. Ia terkenal dengan plot-plot ceritanya yang twisted dan mengejutkan. Orang jarang bisa menebak ending novel-novelnya. Bahkan, kadang, sampai orang baru bisa mengetahui jati diri si pembunuh pada lembar terakhir novelnya. Tentu saja, sama seperti penulis cerita detektif/criminal lainnya, ia memang sengaja menyembunyikan karakter pembunuh sampai "detik-detik terakhir". Jadi, ini memang biasa. Namun, Agatha Christie seolah melakukannya dengan teknik yang canggih, dengan suatu cara yang unpredictable. Salah satu novel yang patut dibaca adalah Curtain, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Tirai. Ini adalah novel terakhir Agatha Christie yang mengambil karakter Hercule Poirot sebagai tokoh detektifnya. Terbit pada tahun 1975, novel ini menjadi salah satu masterpiece Agatha Christie. Dengan berlatar belakang kota Styles di Inggris, Hercule Poirot kembali memecahkan kasus rumit di akhir hidupnya. Ya, novel ini juga menjadi saksi kematian karakter unik Hercule Poirot yang legendaris itu. Argumen Poirot Kematian Hercule Poirot dalam novel ini tidak secara langsung berkaitan dengan kejahatan yang sedang dipecahkannya. Artinya, kematiannya bukan disebabkan oleh kejahatan tersebut. Agar tidak terlalu menjadi spoiler bagi mereka yang belum membaca novel ini, secara ringkas dapat dikatakan bahwa kematiannya lebih merupakan tindakan pengorbanan. Dalam bab terakhir novel ini, Poirot membuka semua kartu dan menyingkapkan misteri kejahatan utama dalam novel ini-suatu tindakan yang sama sekali tidak asing bagi pembaca novel-novel Agatha Christie. Poirot yang yang sudah mati membuka rahasia apa yang telah dilakukannya dalam episode terakhir sebelum "kematian" datang menjelangnya. Tentu, rahasia yang diungkap cukup rumit jika kita tidak membaca novel ini sejak awal. Intinya, Poirot membuka trik dan hakikat kejahatan yang dilakukan oleh si karakter pembunuh sejak awal. Poirot juga memperlihatkan bagaimana ia mengambil "solusi" atas kejahatan itu. Namun, hal menarik dalam acara "buka kartu" ini adalah suatu landasan moral mengapa Poirot mengambil solusi tersebut. Ia membandingkan si pembunuh dengan dirinya waktu masih muda, yaitu ketika ia menjadi seorang polisi yunior di Belgia. Waktu itu, ia harus berhadapan dengan seorang penjahat yang menembak para korbannya dari suatu posisi yang sulit untuk dihentikan. Si penjahat bebas untuk menembak para korban, justru karena ia berada di posisi yang tak terlihat. Poirot beretrospeksi: jika penjahat dari masa mudanya bisa menembak dari posisi yang tak terlihat, kini penjahat berbeda juga menembak dari posisi "yang sama". Ia terbebani untuk mengambil "solusi". Posisi Tak Terlihat Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin, memang bukan penjahat-dalam arti: hanya pengadilanlah yang bisa memutuskan apakah seseorang bersalah atas suatu tindak kriminal atau tidak. Sampai tulisan ini dibuat, ia belum diperiksa oleh pihak mana pun-walaupun statusnya sudah menjadi tersangka dalam kasus korupsi Wisma Atlet. Bagaimanapun juga, tindakannya untuk mengirim blackberry messenger (BBM) menjadi fenomena yang menarik akhir-akhir ini. Bukan hanya menyangkut nama-nama dan besarnya "jumlah uang" yang disebut-sebut, melainkan termasuk pula keberadaan Nazaruddin sendiri. Di mana dia sekarang? Mungkin, keberadaan Nazaruddin secara riil memang bisa menjadi bahan spekulasi yang menarik. Namun, sebenarnya, kita sudah tahu di mana persisnya dia berada: suatu tempat yang tidak terlihat, suatu tempat di mana ia bebas untuk "menembak". Ada hal yang perlu dicamkan. Pertama, bukan masalah bahwa Nazaruddin tidak punya hak untuk menembak, melainkan: posisi di mana ia bebas menembak. Juga bukan apakah tembakannya memang sah (atau "benar"), melainkan: posisi di mana ia bebas menembak. Posisi Nazaruddin yang tersembunyi dan "tak terlihat" menjadi posisi yang nyaman dan menguntungkan bagi dirinya. Ia tidak perlu muncul, tetapi ia sudah berhasil "menembak" banyak orang. Sekali lagi, terlepas dari apakah Nazaruddin adalah orang baik atau tidak, apakah tembakannya benar atau tidak, namun posisinya cukup problematis. Ini Bukan Novel: Mengapa Tempat Terbuka Lebih Baik Ketimbang Tersembunyi Jika Poirot merasa perlu menghentikan si penjahat, tentu ini karena beberapa hal: si penjahat memang melakukan tindak kejahatan, dan Poirot sendiri adalah seorang penegak hukum yang terpanggil untuk menghentikan si penjahat. Walaupun solusinya tidak terduga dan-maaf kalau spoiler: ilegal-Poirot merasa sudah melakukan keadilan. Ia berpikir sudah menghentikan si penjahat ketika ia berpikir bahwa si penjahat tidak mungkin dihentikan oleh siapa pun juga. Posisi tersembunyi yang dimiliki oleh si penjahat adalah kelebihan yang dimiliki si penjahat. Si penjahat bersifat untouchable. Ia tak tersentuh hukum. Bagaimana dengan Nazaruddin? Apakah atau siapakah yang bisa menghentikannya dari tindakan "menembak" dari tempat tersembunyi? Apakah ia juga untouchable? Apakah orang-orang yang "ditembaknya" selama ini memang pantas ditembak? Apakah memang "menembak" dari tempat tersembunyi adalah hal tepat dan benar? Tentu tidak perlu ada yang seperti Hercule Poirot untuk mengambil langkah drastis. Nazaruddin justru barangkali adalah seseorang yang baik dan berkata jujur. Namun, posisi "tak terlihat" yang dimilikinya perlu diakhiri. Orang tidak bisa menjadi orang baik dan jujur jika terus bersembunyi. Orang tidak bisa mengklaim tidak melempar batu jika terus menyembunyikan tangannya. Ia harus memperlihatkan bahwa ia adalah orang baik, jujur, dan benar di tempat yang terbuka dan di depan orang banyak. Justru, ia harus tampil agar tidak berakhir seperti karakter penjahat dalam novel "Tirai". Di tempat yang tersembunyi yang tak terlihat, seseorang justru tidak aman. Sama seperti karakter penjahat yang dihadapi oleh Hercule Poirot yang akhirnya "dengan mudah" terlacak dan diberi "solusi", mereka yang bersembunyi justru tidak terjamin keamanannya. Nazaruddin atau siapa pun jauh lebih aman berada di posisi yang terbuka, yaitu posisi yang lebih terlindung oleh hukum dan penilaian objektif berbagai media. Di tempat terbuka dan di depan orang banyak, kebenaran jauh lebih mudah terungkap dan dipertahankan ketimbang di tempat yang tersembunyi dan tak terlihat. Dan satu lagi. Ini bukan novel. Tidak perlu ada solusi ala Agatha Christie untuk memecahkan kasus "korupsi biasa". Jika sampai KPK, polisi, atau penegak hukum lain kehabisan tenaga, barangkali yang tertawa paling nyaring adalah Dame Agatha.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun