Mohon tunggu...
eko bepe
eko bepe Mohon Tunggu... Konsultan - Laki laki

Bio Bio

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Heran, Dari Dulu Kami Memang Beda Kok

28 November 2019   05:16 Diperbarui: 28 November 2019   05:27 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yah, kami memang beda... tapi itu tidak menghalangi keluarga besar kami untuk merasa dekat satu sama lain.

Tulisan ini terinspirasi dari beberapa teman Kompasiana yang telah lebih dulu mengunggah postingan dengan topik keberagaman dan perbedaan di sekitar kita. Dan sampai saat ini postingan tersebut saya simpan sebagai sumber inspirasi, seperti tulisan Ilyani Sudardjat " China + Arab, Apa Jadinya?

Uniknya Asimilasi Budaya Masyarakat Islam di China." Edy Supriyatna Syafei," Ustadz Ini Sering Diprotes Warga." Wijatnika Ika,"Sejak Kecil hingga Berusia 23 Tahun, Aku Diajarkan Membenci Agama Lain."

Kami memang beruntung dilahirkan dalam keluarga besar dengan keunikan masing-masing. Almarhum nenek dari pihak Ibu menikah 3(tiga) kali. Suami nenek yang pertama berdarah India Pakistan-Islam, pedagang dan lahirlah Ibu saya.

Setelah meninggal, suami pertama menikah kedua kali dengan keturunan Tionghoa-Islam, pedagang dan lahirlah Om Soe. Suami kedua meninggal dan menikah dengan Keturunan Jawa Sunda-Islam, pedagang dan lahirlah Om Agus.

Keluarga besar almarhum nenek dari pihak Ibu adalah tokoh masyarakat di lingkungan Pondok Pesantren di Kota Tulungagung Jawa Timur. Berbeda dengan Kakek dari pihak Bapak saya dari keturunan Pejabat pemerintah (Wedana) yang kawin dengan keturunan Wong Keraton Solo.

Bisa dibayangkan, betapa beragam mulai dari keturunan, suku, kultur sosial budaya berbaur menjadi satu. Apalagi kami anak-anak ibu saya, melahirkan saya dan adik-adik di Kota Malang Jawa Timur di sebuah kampung perkotaan dengan bauran etnis dan kalau boleh dikatakan masyarakat urban dari mayoritas Jawa.

Banyak juga di sekeliling lingkungan kami, merasa heran saat ada undangan entah hajatan, sedekah dan lain-lain yang mengundang dari seluruh keluarga besar, pada tumplek bleg dengan segala keriuhannya. Ada Jawa totok, Cina, Arab India menyatu dan saling bertemu sapa.

Dan itu biasa bagi kami.

Belum lagi beda agama satu sama lain, seperti Pak De kawin dengan Cina Palembang, Om dari keluarga Bapak dari agama Katolik dan Kristen, anak Bu De dari keluarga Ibu yang beragama Budha ...dan lain-lain.

Kami bisa tertawa lepas di acara keluarga, tidak ada sekat yang membuat kami harus berbeda karena agama masing-masing, ras, suku dan sebagainya. Jadi jika ada teman-teman atau orang lain yang mungkin saling serang atas perbedaan pribumi non-pribumi, Cina Jowo atau Arab- rapati genah(maaf! ) , saya hanya tersenyum saja dan tidak ikut berkomentar. Dan kalo ada saat yang tepat, pasti akan saya jelaskan sedikit tentang keluarga saya yang Bhinneka Tunggal Ika, yang penting Mesra ... gitu barangkali pasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun