Mohon tunggu...
eko sumando
eko sumando Mohon Tunggu... -

orang biasa :)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Saya tentang Pajak, Memelihara Reformasi Birokrasi dan Mengembalikan Rasionalitas Masyarakat (Bagian 1)

2 Maret 2012   00:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:39 4450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini media memberitakan satu kasus yang berhubungan dengan pegawai dari institusi pajak, dibumbui nickname “the next gayus”, kasus ini berhasil menarik perhatian masyarakat dan kembali membangkitkan apatisme masyarakat atas reformasi birokrasi pada institusi pajak. Kasus ini muncul dari adanya temuan PPATK atas rekening pegawai negeri sipil yang berjumlah fantastis, atas jumlah tersebut muncul dugaan bahwa adanya transaksi keuangan milik PNS Pajak yang mencurigakan dari hasilpenyalahgunaan kewenangannya.

Kasus ini menjadi perhatian saya, terutama dari stigma yang disampaikan media kepada masyarakat, dan seperti biasanya dengan penuh tendensi. Peristiwa-peristiwa hukum, dan politik disajikan oleh media yang berpola pikir layaknya infotainment, dibandingkan mengupas tuntas kasus yang ada dengan tujuan mencerdaskan masyarakat, mereka hanya memasang panggung bagi para tokoh-tokoh politik (bukan hukum) untuk mengomentari kasus tersebut. Hitler pernah berkata “sebuah kebohongan yang disampaikan dengan terus menerus, akan menjadi kebenaran” begitu pula jika pesan-pesan media ini tidak dinalar lagi oleh masyarakat.

Naluri alami manusia, dan rasionalitas pajak dalam negara

"The hardest thing in the world to understand is the income tax."

-Albert Einstein-

Pengertian Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Rasionalitas manusia alami adalah tidak suka pajak, terutama pajak penghasilan, tentu saja, bagaimana mungkin kita bisa memahami uang yang kita dapat dengan bekerja keras dapat dengan mudahnya diminta oleh pemerintah? Ditambah dengan asas progresif yang diterapkan pada pajak penghasilan, menggoyang kembali rasionalitas kita, yaitu bahwa jika kita semakin keras bekerja, semakin besar penghasilan kita, maka semakin banyak pula hak pemerintah (pajak) atas penghasilan kita? Tentu saja kita akan menganggap siapapun yang mencetuskan ide tentang sistem pajak ini adalah orang gila, ditambah lagi atas dasar kewenangan pemerintah hal ini dapat dipaksakan dan tidak ada imbal balik secara langsung kepada sang pembayar pajak. Hal ini adalah sikap dasar yang tentu akan semakin terkonfirmasi begitu kita mendengar berita panas akan “penyimpangan pajak”, jadi walaupun saya enggak bayar pajak, saya bisa saja tetap akan nyaring berseru: “ngapain bayar pajak, kalo uangnya diambil pegawai pajak?!!” :)

Rasionalitas adanya pajak baru akan terlihat jika kita memandangnya dari sudut pandang negara, pajak memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan, karena harus diakui bahwa pelaksanaan fungsi negara membutuhkan biaya dan pajak merupakan sumber pendapatan negara paling dasar. Selain untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Pajak sebagai tools pemerintah memiliki setidaknya empat fungsi, yaitu: Fungsi budgetair atau sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Fungsi regulasi atau dengan kata lain pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak atau dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. Fungsi stabilitas, yang dimaksud dengan ini adalah dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien. Kemudian fungsi terakhir yang saya pikir paling penting diketahui masyarakat awampajak memiliki fungsi redistribusi pendapatan, Pajak yang sudah dipungut oleh negara dari orang-orang yang pantas kena pajak (berkecukupan) akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja bagi masyarakat yang belum berkecukupan (belum mampu membayar pajak), yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Dibagian ini progresivitas tarif pajak dapat dimengerti, sesuai dengan asas pemungutan pajak: asas daya pikul, maka para kelompok masyarakatyang memiliki penghasilan sangat besar menerima kewajiban pajak yang lebih besar.

Jadi rasionalitas pajak yang paling dasar adalah sebagaimana dikatakan Franklin D. Roosevelt:“~ Taxes, after all, are dues that we pay for the privileges of membership in an organized society.  Pajak,secara singkat, adalah kewajiban yang harus kita bayar atas hak-hak kita pada keanggotaan dalam sebuahlembaga / masyarakat yang terorganisasi (negara).  Lagipula selain hal tersebut diatas ada hal positif lagi yang diberikan pajak bagi kita, seperti kata seorang comic (standup comedian) amerika, “we don’t realise what whe have until the government put a tax on it” kita tidak sadar apa yang kita miliki sampai itu kena pajak J. Pajak membuat kita mensyukuri penghasilan kita..hahaha

Bagaimana mekanisme penyimpangan (potensi)penerimaan pajak?

Seandainya anda memperhatikan media yang ada pada saat ini, jarang sekali yang menyampaikan informasi bagaimana sebenarnya pajak itu dipungut, (dan sungguh itu salah satu informasi yang paling penting dalam upaya mendidik masyarakat, bukan pengulangan informasi absurd layaknya infotaintment seperti lulusan darimana pegawai pajak yang diduga melakukan penyimpangan?!) dan akibat pesan yang tidak sampai itu, masyarakat mengira bahwa tata cara pemungutan pajak itu layaknya kita bayar uang kebersihan ke RT RW tempat kita tinggal. Jadi ketika masyarakat awam mendengar ada penyimpangan pada organisasi pajak, berpikir ada uang pajak yang “diembat” oleh pegawai pajak.

Akibat mendengar pemberitaan dari media yang tidak proporsional ini ditambah naluri alami khalayak umum sebagaimana saya sampaikan sebelumnya membuat banyak orang semakin antipati terhadap pajak. Padahal menurut saya orang-orang yang antipati atau menjelek-jelekkan pajak kemungkinan besar tidak pernah bayar pajak sendiri (entah dipotong langsung oleh perusahaan tempat anda bekerja). Saya cuma mau bilang begini: pajak yang sudah anda bayar tidak mungkin diambil oleh pegawai pajak!

Jika anda pernah membayar pajak anda pasti tahu bahwa anda tidak pernah membayar pajak ke pegawai pajak, orang yang berpikir demikian adalah orang yang tidak mengerti sama sekali tentang pajak, terutama para pembawa acara televisi yang seringkali memandu diskusi topik hangat ini. Penerimaan uang pajak yang anda bayar dilakukan melalui bank, kemudian bank akan menyetorkannya ke rekening kas negara pada Bank Sentral. Dimana posisi pegawai pajak pada proses ini? Pegawai pajak memastikan/melakukan konfirmasi mengenai kebenaran materiil dari pajak yang seharusnya anda bayar, itulah fungsi SPT yang anda laporkan secara berkala.

Jadi jika anda pegawai sebuah perusahaan swasta, atau seorang wirausaha dan mengira bahwa pajak yang dipotong dari penghasilan anda dicuri oleh pegawai pajak, itu adalah pikiran yang paling tidak masuk akal jika anda mengerti proses apa dan bagaimana pajak itu. Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Pada penyimpangan pajak pada umumnya yang terjadi adalah adanya persekongkolan dari wajib pajak dan pegawai pajak yang memiliki kewenangan untuk dapat mengurangi pajak yang harus ia bayar. Tentunya ini menjadi kesepakatan yang saling menguntungkan, wajib pajak bisa menyimpan lebih besar penghasilannya (karena ia mengurangi jumlah pajaknya) dan oknum pegawai pajak mendapatkan imbalan atas jasa (konsultasi, atau apapun itu) yang memungkinkan itu terjadi.

Pada kasus gayus yang terjadi adalah kerugian negara akibat berkurangnya potensi penerimaan negara. Jadi uang pajak yang anda bayar tidak pernah dicuri oleh orang yang bernama Gayus, tetapi ada orang-orang atau perusahaan yang super kaya yang ingin mengurangi jumlah kewajiban pajaknya dan mendapat potensi atau kesempatan melakukan demikian dengan memanfaatkan pegawai pajak, walaupun dengan pandangan berimbang mungkin saja ada pegawai pajak yang justru menawarkan “jasa” tersebut. Jadi jika kita mau memulai memandang hal ini dengan lebih menyeluruh, kita akan sadari pula bahwa selain “oknum” pegawai pajak, tentu ada wajib pajak yang membuat penyimpangan macam ini terjadi, “it takes two to tango”. Kemudian jika kita menjadi lebih kritis diiringi dengan nalar sehat seharusnya kita bertanya bagaimana proses hukum para pengusaha yang menggunakan “jasa” Gayus? Sepertinya tidak bunyi sama sekali ya. :)

(Bagian satu dari dua tulisan)

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun