Bak seorang komentator sepak bola, mulut saya tak henti bicara. "Jadi begini ustadz. Ada dua hal yang ingin saya tekankan."
Lawan bicara saya adalah imam masjid di dekat rumah saya. Dia tekun menyimak. Dia taruh HP nya dan menoleh sebentar ke saya. Lalu menunduk.
Yang pertama, di dalam ceramah ustadz, harus disampaikan ke jemaah bahwa keadaan sekarang sudah berubah. Tata kelola kehidupan telah berubah total.
Bak seorang dosen saya menceramahi sang ustadz. Tanpa perlawanan saya lanjutkan tekanan saya.
Jadi, ustadz harus bisa mengajak jemaah untuk senantiasa tabayyun. Kalimat itu baru saja saya temukan melalui google. Artinya kroscek.
Jangan dengan gampang melakukan kerajinan tangan. Jari jemari harus dikontrol. Jangan main sar ser nggak jelas. Pastikan sumbernya jelas. Valid.
Saya menggeser duduk, lebih mendekat sang ustadz. Kepala sang ustadz makin menunduk. Sangat takzim. Ciri-ciri orang berilmu. Sedikit bicara, banyak mendengar.
Saya ingat ketika menghadap dosen pembimbing dulunya. Kepala ditekan serendah mungkin. Sesekali mengangguk tanda setuju. Padahal tak sepenuhnya paham.
Yang kedua ustadz. Sekarang kita hidup dalam era baru. Namanya new normal. Pasti ustadz belum tahu itu selidik saya. Sangat jumawa.
Ya Allah itulah salah satu kebodohan terbesar dalam hidup saya. Sok tau, sok benar dan suka menganggap diri ini jauh lebih paham.
Padahal kebodohan seperti ini tak perlu dicontohkan. Tak perlu dilestarikan.
Jadi, di dalam new normal ini kita harus menempatkan virus Covid-19 ini sama dengan virus-virus jahat lainnya. Dia harus kita siasati. Tak mungkin kita hidup seperti ini terus. Tak mungkin terkurung seumur hidup.
Ke depan, tak akan ada lagi transaksi tunai. Semua pakai uang elektronik. Tempel HP ke mesin uang, transaksi selesai. Tanpa pengembalian pakai uang receh atau permen. Di Wuhan China 90 persen transaksi di pasar-pasar tradisional pinggir jalan sudah begitu, cerocos saya.
Kepala ustadz mendongak mendengar "ceramah" saya. Transaksi online yang naik 400 persen selama pandemi ini akan semakin marak.
Jangan-jangan ustadz juga tidak diperlukan lagi? Kan sekarang banyak channel youtube para ustadz? Kita tinggal pilih.
Ustadz terdiam. Saya lanjutkan dengan bayang-bayang masa depan yang sebenarnya saya juga belum jelas benar.
Menteri keuangan seperti yang saya baca dalam sebuah running teks di TV, telah menjelaskan bahwa akan ada tata kelola baru ASN, Aparat Sipil Negara.
Saya membayangkan, jika negara memotong 50 persen pegawainya. Tentu pilihan akan jatuh kepada pegawai berusia 45 tahun ke atas.
Orang-orang seperti saya, dengan usia di atas 50 tahun akan tersingkir dalam peradaban.
Saya jadi ketakutan sendiri. New normal? Begitukah cara memahaminya? Saya tak tau persis. Saya hanya membaca dari google. Tapi saya tabayyun dulu. Memastikan semua informasi yang saya sebar benar.
Jika tidak, berarti saya telah melestarikan kebodohan. Maapkan saya ya Allah. Maapkan saya ustadz. Tak ada maksud memamerkan kebodohan ini.
Saya hanya sedang gemas dengan keadaan. Situasi saat ini tak mudah diprediksi. Entah kapan Jumatan bisa diselenggarakan lagi. Entah kapan kita bisa bersalaman hangat lagi.
Perbanyak mengangkat tangan. Melangitkan doa. Memohon semoga kondisi kembali normal. Atau jika tidak, kita akan hidup bersama dengan para virus itu disekitar kita selamanya. Entah siapa yang membawanya. Barakallah.
25/05/2020
#TulisanEO
#IdulFitri1441H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H