Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aksara Cerpenku #6 : Elegi Anak Kucing

26 April 2022   22:18 Diperbarui: 26 April 2022   22:22 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksara cerpenku #6 dokpri

Elegi Anak Kucing


Seri Aksara Cerpenku 6
Ditulis oleh : Eko Irawan
-------------------------------


Sebagai anak kucing....
Tentu aku pilih tuan yang kaya. Makanku terjamin. Tidurku nyaman. Tapi apa ada orang kaya mau adopsi kucing kampung? Bersyukur walau tuanku miskin, tapi masih mending. Dari pada aku hidup di jalanan.

Bersyukur adalah nikmat. Karena masih ada ruang bagiku untuk hidup jadi kucing yang sejahtera. Bisa tidur dikasur. Makan tersedia pindang lezat. Kadang Snack kayak kucing kaya. Dan yang terpenting, aku tidak dicampur kucing liar. Yang makan dari sampah. Nikmat apalagi yang akan aku dustakan?

Dunia kucing, mungkin beda dengan dunia manusia. Sesekali aku dengarkan kuliah subuh. Sejak ramadhan, tuanku bangun pagi pagi. Acara makannya pindah jam. Akupun dapat berkah, sisa makanan yang lezat.

Radio itu kupandangi. Kadang aku tidur diatasnya. Saat menyala, antena radio itu mengeluarkan sedikit aliran listrik. Jadi Ndak nyaman nangkring diatasnya. Jadinya aku turun dibawah kolong meja, dibawah radio itu.

Aku tak tahu, kesimpulanku benar apa tidak. Ini bahasa anak kucing. Bicara tentang kaya miskin. Ternyata manusia tak bisa memilih untuk dilahirkan oleh ibu yang mana. Yang kaya atau yang miskin.

Memang harta tak dibawa mati. Segunung harta berlimpah, semua yang bernyawa pasti mati. Dan hartanya ditinggal. Tak ikut dibawa mati. Kecuali Firaun, yang membawa hartanya dikubur kematiannya. Itu kemarin, kulihat di televisi.

Rejeki Allah itu seluas langit bumi. Harus pandai mengelola, sebagai bekal kehidupan. Guyonnya, yang penting harta harus pas kecukupan. Saat ada kebutuhan ini, tagihan itu, pas ada dan cukup. Tak bingung, karena kecukupan. Bagi yang tak pernah miskin, bakalan mencela. Mengghibah kok bisa begini. Begitu. Itulah dunia manusia.

Dirumah ini, tempatku bernaung, bukanlah keluarga yang kaya. Kucing sebelah, cerita soal makanan kucing no problem. Selalu tersedia, sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun. Kadang kucing Oren gendut berkalung itu diajak jalan jalan pakai mobil. Bisa lihat dunia kontes kucing, yang entah dimana.

Dirumah ini, kulihat, baik ayah atau ibu asuhku sering sedih. Ibu tak bisa tidur nyenyak karena menunggu ayah pulang malam malam. Kadang ayah pulang tak dibikinkan kopi. Nasipun kadang tak tersedia. Mereka duduk berunding, tampak tegang dan penuh selisih. Terutama soal uang dan uang, dan itu setiap malam.

Ayah gajian hanya sekali sebulan. Itupun tidak utuh. Karena punya hutang bank yang lumayan Gedhe cicilannya. Sisa gaji minim banget. Buat mencukupi kebutuhan, ayah dan ibu punya kas bon sendiri sendiri. Hutang sana sini. Makanya ayah pulang malam, demi cari tambahan.

Aku tahu, karena ibu kadang kadang cerita padaku. Akupun kadang tak makan sehari, karena nunggu ayah dapat duwit. Kasihan juga ayah, terlihat lesu dan lelah. Pulang tengah malam. Dan kadang tak disapa ibu. Karena malam itu gagal tak bawa uang.

Ayah ibu memang tak punya tabungan. Dapat uang malam itu, besok habis untuk belanja. Besok itu, ayah cari uang lagi. Buat besoknya lagi. Sungguh kehidupan yang sengsara. Iya kalau dapat rejeki, kalau tidak. Rumah ini jadi tak nyaman.

Apalagi rumah ini juga bukan rumah mereka. Kontrak. Tiap tahun nambah, dan terlihat ayah super galau jika kontrakan rumah mau habis, bayarnya pakai apa. Hutang sudah menumpuk, pasti nambah hutang baru. Resikonya, tanggungan semakin besar.

Aku kadang ikutan sedih. Karena ini  menyangkut nasibku juga kelak. Mungkin aku akan dibuang dijalanan lagi. Karena ayah dan ibu tak mungkin terus mengasuh aku dalam kemiskinan mereka. Aku hanya nuntut makan dan makan saja. Sementara mereka kesulitan  dapat uang. Entahlah...

Kaya itu penting. Harta itu bekal kehidupan. Bagi aku, anak kucing, tanpa harta manusia itu hidup sengsara. Betapa susahnya ayah, cari uang setiap hari. Hingga malam, masih dijalan. Ibu juga menangis. Membagi uang yang jumlahnya minim. Besar pasak daripada tiang. Keluarga ini jungkir balik.

Karena miskin, uang langka. Untuk sehari hari mereka hutang sana sini. Ke warung. Ke tetangga. Ke saudara. Tambah hari, tambah banyak hutangnya. Sementara pendapatan keluarga ini, tambah surut. Ditambah pertarungan antara ayah dan ibu, yang tak kumengerti. Sungguh memperparah rejeki mereka.

Kaya miskin bagi anak kucing. Kapan keluarga ini jadi kaya? Apa akan terus miskin? Mikirku tak nutut. Maklum hanya anak kucing. Jika keluarga ini dianugerahi kekayaan, nasibku jelas. Tapi jika tetap miskin, dan semakin miskin, kembalilah aku kejalanan. Kelak selucu apapun diriku, aku akan dibuang.

Doa anak kucing. Semoga ayah ibu menerima keajaiban Illahi. Karena kaya miskin itu karena Allah. Ayah ibu sudah sangat baik dengan para kucing. Mudahkan Rejeki mereka Ya Allah... Agar mereka tidak menangis setiap malam.

Malang, 4 April 2022

Baca cerpen sebelumnya seri Aksara Cerpenku #5 :
Jerawat Kekasihku
https://www.kompasiana.com/eko67418/624c9d20c668262a8f32f964/jerawat-kekasihku-aksara-cerpenku-5

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun