Dikutip dari Situs voi.id fenomena mudik sesungguhnya baru populer sekitar era 1970-an. Setiap daerah pun memiliki bahasa sendiri dalam menyebut tradisi mudik. Bagi masyarakat di Jawa, mudik berasal dari kata 'mulih disik' yang berarti pulang sejenak.Namun, bagi masyarakat Betawi, mereka mengartikan mudik sebagai 'kembali ke udik (kampung)'. Menurut Jurnalis senior, Alwi Shahab, dalam buku berjudul Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006) , mengangkat pengistilahan mudik dari sudut pandang perantau minang. Ia menjelaskan, “Bagi orang minang, yang menurut perkiraan tahun 2000 jumlahnya di Jabodetabek paling tidak dua juta orang, sejak lama dikenal dengan istilah 'pulang basomo.'”
Mudik memang bukan cuma perkara rindu. Sejak dalam sejarah, mudik jadi simbol pengakuan sosial.
Dahulu, mudik selalu dilakukan dengan berkonvoi. Dalam momen mudik, para perantau bagai pahlawan. Itulah asal mula mudik jadi ajang pamer di kampung halaman. Seolah ukuran sukses dalam mudik adalah tradisi pamer. Jadi pahlawan setelah sekian waktu merantau, dan tentunya bangga dan butuh pengakuan signifikan dikampung halaman sendiri.
Tradisi Pamer, ukuran sukses Perantau
Diperantauan, seseorang belum tentu sukses luar biasa dan belum tentu mampu menunjukan suksesnya saat pulang ke kampung. Nilai silaturahmi dan rasa kangen pada sanak famili di kampung, bergeser menjadi tradisi pamer sebagai bentuk ukuran sukses diperantauan. Bukan kabar yang dipertanyakan, tapi diri kita dibanding bandingkan dengan si anu yang punya ini itu dari mudik ke mudik tiap tahunnya. Hal ini bisa jadi kajian ilmiah yang layak diteliti dan bukan saya pribadi saja yang mengalami peristiwa gagal pamer di ranah mudik, dan oleh sanak famili dianggap prodok gagal karena tidak mampu memberi angpau dan gagal pamer kesuksesan saat lebaran tiba.
2 tahun terakhir, lebaran disituasi pandemi covid memang memberi nuansa keprihatinan. Dimasa sebelumnya, mudik seolah jadi dilema tersendiri. Tak pulang rindu, tapi pulang selalu dicerca kok tidak ada perubahan dari tahun ke tahun.
Dalam keluarga besar dan tetangga kampung, seolah saya diadili. Motormu kok itu itu saja. Si anu, teman sekolahmu sudah bawa roda 4. Lha kamu kemana aja? Boros ya. Sejuta kata evaluasi benar benar menghunjam mak jleb. Saya sekeluarga diadili bak seorang penjahat. Inikah makna baru mudik itu?
Tradisi pamer, seolah jadi ukuran sukses bagi setiap perantau. Dan bagi mereka yang biasa biasa saja atau memang tak hobby pamer, akan dibully tradisi ini. Ghibah memang kejam, apalagi kita divonis dibelakang kita. Karakter kita dihabisi di kampung halaman sendiri dan yang dipuji dan dapat nama adalah si anu yang berhasil pamer. Walau mobil bisa sewa, dan pura pura cerita sukses, bisa dikarang. Namun kenyataannya Tradisi ini terjadi berulang ulang. Apakah di tahun ini, akan hadir fenomena pamer?
Esensi mudik lebaran
Sebenarnya esensi ramadhan bukan pamer kepada sesama manusia. Ibadah puasa sungguh tak elik jika diakhiri dengan pamer harta benda sebagai simbol sukses merantau diluar kampung halaman. Rasanya rugi melakukan ibadah puasa, melatih diri mengendalikan hawa nafsu selama sebulan, jika waktu lebaran diisi tradisi pamer. Lebaran bukan urusan baju baru, mobil baru dan pamer hal hal baru di kampung. Esensi mudik lebaran bagi saya silaturahmi, entah apa esensi mudik lebaran bagi mereka, jika ujung ujungnya pamer.