Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Stri Nareswari #15: Karma Amamadangi Ken Dedes

30 Maret 2022   21:44 Diperbarui: 30 Maret 2022   21:46 1414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stri Nareswari #15 :
Karma Amamadangi Ken Dedes

Ditulis oleh : Eko Irawan
------------------------------


Baca kisah sebelumnya
Romansa Panah Asmara
https://www.kompasiana.com/eko67418/622306e431794901bc65420c/stri-nareswari-14-romansa-panah-asmara

Mendung temaram, diiringi gemuruh. Langit menyala nyala dan terdengar Guntur dikejauhan. Kuberjalan cepat agar segera sampai ke gubuk bambu itu. 

Kuberlari agar segera sampai di sana. Karena lidah hujan mulai turun menyapu tanah. Angin sangat keras bertiup. Butiran bening kristal es berjatuhan dari langit. Itu kondisi di timur gunung Kawi baru baru ini.

Akupun duduk bersandar ditonggak gubuk bambu itu. Suasana sore berubah jadi seperti malam. Sang bayu bertiup keras hingga daun dan ranting berterbangan.

Tiba tiba suara keras bergema. Beringin di pojok jalan itu tumbang. Kejadian begitu cepat. Sebilah bambu petung penyangga gubuk tempat aku berteduh, tiba tiba patah dan memukul telak tengkukku. Akupun pingsan, tak sadar diri. Jatuh diantara rerimbunan daun dan ranting beringin.

Setelah sekian waktu, aku terjaga. Tapi ini entah dimana. Aku sadar, tapi tak tahu apa apa. Ruang waktu seolah tertukar.

Dikejauhan, Kudengar sayup sayup pembicaraan dari bale pendopo.
"sira ken Angrok awarah ing sira danghyang Lohgawe , lingira : “Bapa danghyang, hana wong istri murub rahasyane, punapa laksananing stri lamun mangkana, yen hala rika yen ayu rika laksananipun”. Sumahur sira danghyang: “Sapa iku kaki”. Lingira ken Angrok: “Wonten, bapa, wong wadon katinghalan rahasyanipun deningsun”. Lingira danghyang Lohgawe: “Yen hana istri mangkana, kaki, iku stri nariçwari arane, adimukyaning istri iku, kaki, yadyan wong papa angalapa ring wong wadon iku, dadi ratu añakrawarti”.
Meneng sira ken Angrok, ri wekasan angling: “Bapa danghyang, kang murub rahasyanipun puniku rabinira sang akuwu ring Tumapel; lamun mangkana manira-bahud angeris sirakuwu, kapasti mati de mami, lamun pakanira angadyani”. Sahurira danghyang: “Mati, bapa kaki, Tunggul ametung denira, anghing ta ingsun ta yogya yan angadyanana ring kaharepira, tan ulahaning pandita, ahingan sakaharepira”.(kutipan pembicaraan antara Ken Angrok dan Dahyang Lohgawe, Dikutip dari Pararaton.)

Melihat kedatanganku, Dahyang Lohgawe memanggilku. Beberapa waktu lalu, aku memang bertemu dan bertanya tentang Stri Nareswari padanya. Dan saat ini, aku ada diantara Dahyang Lohgawe dan Ken Angrok.

Dahyang Lohgawe langsung menyambut hangat kehadiranku. Tapi aku tak boleh mendekat dalam ruang diskusi mereka. Aku harus duduk dilantai, sementara mereka berdua duduk dibalai balai atas.

"Dengarkan, dan diamlah disitu. Jangan bertanya, tapi ingat ingat pesan ini. Kau dapat tugas mulia dari semesta. Semua perempuan membutuhkan pengetahuan ini. Agar jadi wanita utama. Stri Nareswari." Demikian perintah Dahyang Lohgawe dengan suara sangat berwibawa. Akupun terdiam, dan menyiapkan catatan. 

Karma Amamadangi Ken Dedes. 

Itulah pengajaran yang akan di babar Dahyang Lohgawe. Ada aku sebagai citralekha, sang penulis dan Ken Angrok yang akan memperoleh pengetahuan ini.
"Apa yang ingin kau peroleh untuk hidupmu? perilakumu? Masa Depanmu?
Perilaku yang baik (subhakarma). Tentu bukan perilaku yang tercela (asubhakarma). Perilaku yang baik bisa digambarkan sebagai "perilaku (karma) yang tercerahkan (amadhangi atau amamadangi, menerangi)". Itulah puncak pencapaian, yang dicari dan ditemukan dalam sepanjang proses berkehidupan. Cahaya cerah (budh, padhang), yang mencerahi karma manusia diperoleh lantaran senantiasa berlandaskan pada dharmma (ajaran kebaikan), yang dalam ajaran perilaku disebut "Jalan Paramita (Paramitayana)"

(*Catatan : Dalam Pararaton, Mpu Purwa ayah dari Ken Dedes memang menyiapkan putrinya untuk menjadi wanita utama dengan memberikan pengajaran tentang karma amamadangi. Mpu Purwa memang bersahabat dengan Dahyang Lohgawe, yang diutus secara khusus dari Jambudwipa. Kelak, sawab atau tuah dari karma amamadangi ini membuat kota di timur gunung Kawi ini menjadi kota pendidikan. Tiap tahun ribuan mahasiswa dari seluruh penjuru negeri datang ke kota Malang untuk belajar ilmu pengetahuan, hingga menjadi manusia utama. Kisah Ken Dedes sebagai cahaya ilmu pengetahuan ini telah menginspirasi para belia untuk menempuh ilmu di malang. Dalam sejarah dicatat keturunan Ken Dedes dari benih Tunggul Ametung jauh sampai ke cucu-cicitnya mulai Anusapati, Ranggawuni, dan Kertanegara menjadi raja maupun pembesar di Singasari.
Juga dari benih Ken Arok, Ken Dedes memberikan keturunan hingga cicitnya menjadi orang-orang besar di Kerajaan Singasari maupun Majapahit hingga Raden Wijaya.
Sampai digaris keturunan ke empat, terjadi penyatuan antara keturunan Ken Dedes dari darah Ken Arok yaitu Raden Wijaya dengan keturunan Ken Dedes dari darah Tunggul Ametung.
Peristiwa ini diketahui dari pernikahan Raden Wijaya dengan dua putri Kertanegara, Tribhuana Prameswari dan Gayatri Rajapatni yang tercatat sebagai manusia-manusia tangguh dan besar yang di Kerajaan Singasari dan Majapahit.
Selain itu, dipercaya jika Sultan Trenggana Raja Kesultanan Demak juga juga keturunan Ken Dedes.
Sementara Raden Patah juga merupakan putra Prabu Brawijaya, dan tentunya masih dalam garis keturunan Raden Wijaya.
Demikian pula ketika Demak digantikan Pajang yang diperintah Sultan Hadiwijaya di mana Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir adalah anak Ki Ageng Pengging yang juga keturunan Raden Patah.
Hal tersebut terus berlanjut ketika tanah Jawa dipegang oleh Kerajaan Mataram di mana Ki Ageng Sela, kakek buyut dari Sutawijaya (raja pertama Mataram) keturunan Bondan Kejawan putra dari Prabu Brawijaya juga.
Keturunan Ken Dedes juga diyakini tetap memerintah di tanah Jawa karena hingga kini, Kasunanan Surakarta maupun Kesultanan Yogyakarta merupakan keturunan Sutawijaya.)
***************
Sejenak Dahyang Lohgawe terdiam, lalu kembali menjelaskan tentang Karma amamadangi yaitu sebagai perbuatan atau tindakan yang memperoleh penerangan atau perilaku yang tercerahkan. Pernyataan itu berkaitan dengan tanda istimewa yang dipunyai Ken Dedes, yakni Rahsya yang bersinar (prabha).
kecantikan Dedes itu termasyur di timur Kawi (kaki Gunung Kawi, wilayah Kerajaan Kadiri) sampai Tumapel, Singosari. Dedes memiliki Pamor stri Nareswari, pamor yang terpancar dari kewanitaannya. Biasanya diperhalus dengan sinar yang terpancar di betisnya.
Dedes juga dibekali dengan ajaran kebaikan dari ayahnya. Ajaran itu disebut Karma Amamadangi yang berarti perbuatan yang menerangi dunia. Alhasil, kelak Ken Dedes disebut pula sebagai Pradjnaparamita, wanita berpengetahuan tinggi. Dalam perjalanannya, kemasyhuran Dedes pun makin tinggi. Tak hanya cantik mempesona, budi pekerti dan ilmu pengetahuannya juga indah nan mempesona.
Karma yang diajarkan oleh mpu Purwa kepadanya bahwa Ken Dedes oleh Ayahnya diberi bekal ajaran karma amamadangi
(marajaken karma amamadangi).
Marajaken berasal dari akar kata ‘Raja’ yang berarti menyala atau bersinar  sedangkan ‘Karma’ berarti tindakan, pekerjaan, segala perbuatan baik atau buruk yang mengakibatkan hasil yang tak dapat dielakan pada masa yang akan datang. Marajaken karma amamadangi dapat diartikan sebagai ‘ yang memiliki
cahaya (ilmu) tentang perbuatan baik yang dapat menerangi hidup’ yang akan datang. 

Untuk melaksanakan cahaya ilmu adalah perbuatan baik yang disebut
Dasa Purnnakirya/Dasa Paramita atau Sepuluh jalan dari perbuatan baik , yaitu:
1). Dana : gemar menolong orang dan murah hati
2). Sila : melakukan perbuatan, ucapan, dan matapencaharian yang benar
3). Bhavana : mengheningkan cipta untuk membersihkan kekotoran pikiran yang baik
4). Apacayana : rendah hati dan menghormati orang yang patut dihormati, tidak sombong
5). Beyyavacca : memberikan jasa-jasa baik kepada orang lain untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang baik
6). Prattidana : suka membagi kebahagiaan, kegembiraan kepada orang lain, tidak kikir, dan tidak mementingkan diri sendiri
7). Prattanumodana : merasa turut bahagia dan gembira melihat orang lain bahagia, dan tidak ada sama sekali perasaan iri hati
8). Dharmasavana : mempelajari dharma dan sering mendengarkan khotbah, ceramah dharma
9). Dharmadesana : menyebarkan dharma dan memberikan pelajaran tentang dharma
10). Dirtihiyukarma : pandangan hidup yang benar.
Demikian Dahyang Lohgawe menjelaskan, kenapa Ken Dedes begitu istimewa karena melakukan ajaran kebaikan universal. Semua agama dan kepercayaan manusia adalah mengajarkan tentang kebaikan dan Budi pengerti luhur. 

(Bersambung)

Malang, 30 Maret 2022
Referensi :
Terima kasih kami Ucapkan kepada :
1. Arkeolog Bapak M. Dwi Cahyono
2. Bapak Ki Suryo Candi Jago

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun