Entah berapa waktu, tak lagi bertamu. Saat semua pituturnya dilanggar. Atas nama ego. Merasa tak perlu usaha cari rejeki. Maunya enak. Cukup rebahan. Dan uang melimpah.
Entah berapa waktu. Bertarung demi hasrat rahasiamu. Pura puramu. Sandiwaramu. Hati dan jiwamu untuk pangeran lain. Dan aku kau tuntut atas nama tanggung jawab. Tapi yang kau istimewa kan dia. Pujaanmu.
Entah berapa waktu. Saat semua omonganmu dikabulkan Tuhan. Kau ingin kapokan diriku. Agar sengsara. Tapi kau butuh aku. Butuh cuan dari dompet lusuhku. Sementara yang menikmati itu dia, sang pangeran baik hati. Kamu waras?
Rumah kosong sang penengah. Tinggal sandal yang merana. Tuan rumah sudah pergi selamanya. Kita tak bisa berharap manusia. Tinggal kenangan, tinggal kita yang harus terjemahkan sendiri.
Soal kita sudah tamat. Bertahan akan sengsara. Akan menambah luka tanpa obat. Tiada lagi penengah yang adil bijak. Saatnya putuskan. Tutup buku kesengsaraan ini. Selesai.
Seperti rumah kosong sang penengah. Apa yang kau harapkan sudah melompong. Diteruskan hanya menunggu pepesan kosong. Tiada guna, buang waktu buang umur. Terjebak hukuman sabdamu sendiri. Itu diijabahi Semesta. Sebelum terlambat, pergilah saja. Sesalmu tiada guna.
Malang, 5 Februari 2022
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H