Rumah ini, rumah kita. Berbagi ruang karya. Ekspresi jiwa gersang nan sepi. Jiwa berapi nan bergejolak. Ada yang tafakur. Ada yang ngelindur. Semua ada dalam satu wadah. Suka tak suka, kita keluarga Kompasiana.
Maju mundur itu tanggung jawab bersama. Toleransi saling hargai. Kritik saran saling dukung saling membangun. Semua ingin moncer, ingin jadi dirinya. Hargai, itu karya. Tak semua orang bisa.
Ekspresi itu hak. Untuk unjuk diri. Jika kamu tak suka, jangan dibaca. Lewati saja. Mereka itu susah payah membuat konten. Mereka susah payah membuatnya. Coba berempati, kamu jadi dia, terus karyamu dicap sampah. Apa kamu bisa terima?
Siapa mau karyanya dianggap sampah. Menangis bung, hati ini. Teriris harga diri. Membunuh kreatifitas itu kejam. Sungguh itu perbuatan jahat yang hina.
Masih ingat, saat guruku yang killer itu bilang. " Kamu pupuk bawang. Karyamu gabermut." Seorang guru. Inspirasi para siswa. Memvonis karyaku hanya ikut ikutan. Tak bermutu.
Jujur, engkau berhasil membunuh kemampuanku menulis. Aku jadi malas menulis. 26 tahun, engkau mengkebiri karyaku. Mencap aku gabermut. Nggak bermutu. Dan aku terpukul.
Aku tak dendam padanya. Dia guru sepuh, yang anti demokratis. Type guru behaula. Guru seharusnya memotivasi, bukan menghabisi. Seharusnya membina, bukan membinasakan.Â
Masih ingat, lembar kertasku dicoret coret merah. Paling tinggi nilaiku empat. Lebih banyak dikasih nilai bebek. Angka dua. Sebagai pengikut yang tak bermutu. Nangis aku pak Guru.
"Apa apaan ini," kata beliau marah marah. Lalu menyobek hasilku melekan sepanjang malam. Paginya dihinakan seperti itu. Didepan teman teman sekelas ku. Untuk ditertawakan sebagai sampah. Sungguh kuterhina hingga berhenti berkarya, 26 tahun lamanya.
Akibat dinilai itu. Aku terhenti. Hilang rasa percaya diriku untuk Menulis. Berpuluh tahun. Hingga aku sadar, caraku bodoh. Cara berhentiku, mengikuti saran sampah. Bukan karyaku yang sampah. Para pengkritik lah yang bermulut sampah.