Tafsir apa, yang bisa jawab. Campur aduk rasa. Bukan permen. Tak hanya manis, Tapi kadang pahit. Rasa itu lepaskanlah.
Diri ini ternyata terlalu bodoh. Sangat bodoh. Bahkan dungu. Mau maunya dipermainkan rasa. Terhanyut sedih yang berlarut larut. Dalam duka, yang bikin sakit. Jiwa raga dalam derita. Tanpa obat.
Dijajah rasa. Tak berkutik dalam bait bait hukuman. Seolah karma. Tapi benarkah jika tak berbuat, tapi diadili rasa sakit. Yang bertubi tubi.
Aku sekarang itu. Terkucil. Diranah asing. Dunia yang tak peduli padaku. Dibuang ditengah dahaga dan kelaparan. Menanti belas kasihan.Â
Kesepian ini, memang berlebih lebihan. Saat aku ini dibiarkan. Tak ada yang tanya. Tak ada yang mencari. Terasing tanpa ada yang peduli. Dimana. Kemana.
Jangankan bilang kangen. Dicari saja tidak. Aku ini kerikil kerikil yang dibuang. Tak diakui. Jadi hiburan ghibah. Para nyinyir, pemuja lambe turah.
Hidupku, jadi infotainment. Ditunggu salahnya. Untuk ditertawakan seluruh jagad. Diadili cara rasan rasan. Seolah bajingan Wahid. Yang layak dihakimi.
Tapi benarkah? Itu tak bisa diklarifikasi. Ceritaku konsumsi publik. Jadi entertainment menarik, untuk ditertawakan. Para penggibah profesional. Seolah mereka dewa suci. Yang paling mulia.
Siapa mau gagal. Dalam hidup ini. Tak seorangpun mau. Tapi panggung dunia ini, kadang tak berpihak. Yang sukses dipuja. Yang gagal dipertanyakan. Kok bisa?
Cinta ini, ketulusanku. Perjuanganku. Aku bukan mau menyakiti wanita. Yang menangis seolah tersakiti. Sungguh ku jadi lelaki tak becus. Yang ditertawakan. Menyenangkan arena rasan rasan.Â
Aku itu tersakiti. Aku sudah jujur. Sudah apa adanya. Tak punya tendensi apapun. Tapi kegagalanku kenapa dipersoalkan?
Cinta ini aku dan dirimu. Milik kita sendiri. Yang rasakan kita. Tapi kenapa bocot pengkritik terus saja nyinyir. Kenapa?
Mengikuti caranya. Omongannya. Tak akan pernah habis. Selalu saja salah. Begini salah. Begitu salah. Serba salah. Kapan benarnya?
Sungguh repot jika mengikuti omongan orang. Iya jika mereka peduli, memihak kita. Tapi nyatanya, hidupku. Cintaku. Jadi dolanan para bangsat. Yang berkonspirasi. Tanpa belas kasihan.
Kisah cinta ini. Hidupku bersamamu. Dunia kita berdua. Tak merugikan siapapun. Mereka iri. Mereka tak ingin kita bahagia. Bagaimanakah kita harus bersikap?Â
Cinta adalah sesuatu yang sulit dijelaskan Dengan kata. Cinta menumbuhkan bahagia. Cinta juga melahirkan derita. Apapun itu, rasa itu lepaskanlah.
Aku akan memperjuangkanmu. Tiada mengeluh. Tiada menyerah. Aku itu bukan tontonan lucu. Langit bumi saksinya. Ketulusan akan harapan. Apapun itu, rasa itu lepaskanlah.
Apapun hasilnya. Bukan urusan para lambe turah. Jangan hina aku. Aku dan dirimu itu bukan diecast mainan. Yang bisa sesuka hati dilecehkan.
Lepaskanlah rasa ini. Lepaskanlah beban ini. Biarkan aku dan dirimu dalam cinta abadi. Berjalan dalam takdir. Yang mengalir sesuai KuasaNya. Mengikuti takdir sejati. Tak peduli kata orang.
Akupun ada untuk membuktikan cinta. Aku dan dirimu. Lepaskanlah rasa ini. Cinta ini, milik kita. Bukan apa kata mereka.
Malang, 29 Desember 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H