Mungkin hanya pikiranku sendiri. Perasaanku sendiri. Aku harus introspeksi. Suka tak suka itu hak kalian. Biarkan aku menjadi diri sendiri.
Aku akan selalu berusaha baik. Peduli pada siapapun. Percaya besar tanpa tedensi. Aku tetap apa adanya diriku. Aku sudah sibuk dengan diriku sendiri. Hidupku. Duniaku. Tak ada waktu untuk urusan tak penting selain itu.
Apa adanya diriku. Curhatku. Ceritaku. Perjuanganku. Jika kalian bijak, simpan. Engkau pasti punya nurani. Tapi jangan percaya pada semuanya. Itu prinsipku.
Benar, suka atau tidak, itu hakmu. Itu pilihan merdekamu. Mau kau simpan, itu hakmu. Tapi saat disebar? Dengan ditambah bumbu? Ditambah tafsir rasa tidak sukamu. Munafikmu. Memakan aku, dibelakang ku.
Iya jika itu empati positif. Tapi kadang bumbu itu fitnah. Ghibah. Ditambahi cerita untuk membunuh aku. Menghabisi karakterku. Agar semua benci padaku. Menjauhi aku. Dan berhasilah dirimu. Membuatku tamat.
Kusudah jujur, tapi aku dianggap bohong. Ternyata, ada yang menjual tangisku. Untuk tujuanmu.Â
Mulutmu bak silet. Setan setan saja hanya menghalangi ibadahmu. Tapi kamu, lebih kejam dari iblis terkutuk. Bangga memakan kepercayaanku padamu. Untuk tujuan sesatmu. Apa yang kuperoleh? Pahala mulia dari siapa. Sungguh kau jual kemuliaan, untuk tafsir bangsatmu.
Aku tak peduli. Keadilan semesta akan membuka matamu. Masih ada karma keadilan. Aku akan jadi diriku sendiri. Aku sudah cukup sibuk dengan duniaku.Â
Rugi aku menanggapi fitnahmu. Itu tak penting. Jujur itu mengganggu hidupku. Aku tak terima. Semua jadi menjauhi aku. Memusuhi aku. Aku jadi bangsat, padahal kamulah sendiri yang maha bangsat.
Malang, 26 Desember 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H