Kisah sebelumnya baca di link berikut :
Stri Nareswari #3: Enigna Ruang Waktu
Suatu hari yang telah lalu. Saat mawar mulai layu. Bekas memelukmu masih berdarah. Masih sakit. Kau bilang tak ada apa apa. Itu dulu. Tapi sekarang sudah tidak. Tidak mau mikir itu itu lagi. Sedih ini membinasakan. Mulianya janji. Romantisnya cinta. Semua musnah.
Terhipnotis ide gila. Relief Jajaghu memotret. Mulianya Drupadi. Sebagai Stri Nareswari. Saat kainmu ditelanjangi. Tak seperti dirimu. Malah menjual gratis kehormatanmu. Atas nama nyaman dan cinta palsu. Untuk orang lain. Lelaki lain. Cara halal kau campakkan. Cara haram kau tempuh. Demi nafsu cara binatang. Membunuh cinta suci, demi cinta palsu pangeran pengecut. Selingkuhanmu.
Kembali ku menepi. Dalam sunyi menemui ruang waktu Jajaghu. Sisa peradaban. Yang mulai ditumbuhi lumut. Sungguh kusudah lelah. Saat stri nareswariku sudah direbut paksa dan aku hidup, tapi di tikam dari belakang.
Kukembali datang ke candi pendarmaan Wisnuwardhana ini. Belajar pertarungan hidup. Dari relief relief tua. Yang mungkin hanya secuil sejarah. Yang dilupakan.
"Jangan Gundah ananda" tepuk sang Panji Seminingrat.Â
"Yang pergi biarlah pergi. Kau sudah rumit. Tak perlu mempersulit hidupmu, Nak." Aku tertunduk. Mencoba meresapi gundahku hingga datang menepi dalam sepi. Mimpi bahagia ternyata tak kutemukan. Stri nareswariku sudah dirampok orang. Dan aura itu tak bisa kembali. Hilang. Dinikmati lelaki lain dalam permainan durjana. Penuh intrik dan dusta dusta para penipu yang ingin dibenarkan.
"Nak, kau bisa pegang amanat ibumu. Jangan kau ragukan." Kata Panji Seminingrat seraya duduk di depanku.
"Apa pesan ibumu, laksanakan. Kapan lagi kau mau mendengar pesan ibumu, anakku."
Aku tertunduk lesu. Teringat pesan terakhir ibuku. Tentang jodoh pilihan. Sang Stri Nareswari milenial. Yang akan datang dalam bahagia. Jika aku percaya ibuku sendiri. Dan aku akan bertemu dengannya. Menjaganya. Memperjuangkannya. Diuji bersamanya. Tapi untuk kemenangan abadi. Makna jajaghu sesungguhnya.
"Aku tak akan banyak cerita anakku. Ayo kesana. Masuklah kesana. Pintu itu." Tunjuk sang Mapanji seminingrat menunjuk pintu diatas candi Jajaghu ini.
Akupun mengingat kembali. Makna Jajaghu dibangun demikian megah. Konon untuk mengakhiri kutukan Sang Gandring. Dan keris malapetaka itu dimusnahkan di kawah Sang Kelud.
"Masuklah ke pintu itu Anandaku"Â
Akupun berjalan menapak tangga ke atas Jajaghu. Memaknai hidup menuju puncak. Tak mungkin sendiri. Aku harus menjemputmu. Sang Stri Nareswariku.
Pra Tumapel. Itulah yang kulihat dibalik pintu itu. 1000 tahun yang lalu dari sekarang. Jajaghu menghilang. Karena aku berada di suatu tempat yang tidak asing bagiku. Aku dilahirkan disini. Sukun.
Buah bulat yang lezat saat digoreng. Hutan sukun nan rindang. Jalanan antara dua ruang waktu yang berbeda. Antara ini kekinian. Dan ini dahulu.Â
Aku merasa lelah dan duduk dibawah pohon sukun besar itu. Hingga kumelihat iring iringan besar pasukan berkuda. Dari arah selatan. Dipimpin seorang gagah perkasa.
Dialah Sri Maharaja Jayamerta. Aku berdiri dan memberi hormat pada beliau. Sang Maharaja yang baru saja mengukuhkan desa Sukun menjadi daerah sima yang bebas pajak.Â
"Selamat Datang Ananda, kau datang dari 1000 tahun yang akan datang." Sapa Sri Maharaja Jayamerta ramah. Aku ternyata datang di tahun 1083 saka. Atau tahun 1161 Masehi. Inilah masa Pra Tumapel. Saat desa sukun mendapat anugerah.
"Kelak kau dilahirkan disini anandaku" kata sang Raja, sambil menepuk pundak ku.
"Selamat datang di Kerajaan Purwwa. Aku Sri Maharaja Jayamerta. Mari kita berkeliling. "
akupun mengiyakan dan turut serta berkuda bersama sang Raja. Rombongan berkuda ini mengajakku menuju pusat desa Sukun. Ada apa disukun di tahun 1161?Â
(Bersambung)
Malang, 29 November 2021
ditulis oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H