Aku tertunduk lesu. Teringat pesan terakhir ibuku. Tentang jodoh pilihan. Sang Stri Nareswari milenial. Yang akan datang dalam bahagia. Jika aku percaya ibuku sendiri. Dan aku akan bertemu dengannya. Menjaganya. Memperjuangkannya. Diuji bersamanya. Tapi untuk kemenangan abadi. Makna jajaghu sesungguhnya.
"Aku tak akan banyak cerita anakku. Ayo kesana. Masuklah kesana. Pintu itu." Tunjuk sang Mapanji seminingrat menunjuk pintu diatas candi Jajaghu ini.
Akupun mengingat kembali. Makna Jajaghu dibangun demikian megah. Konon untuk mengakhiri kutukan Sang Gandring. Dan keris malapetaka itu dimusnahkan di kawah Sang Kelud.
"Masuklah ke pintu itu Anandaku"Â
Akupun berjalan menapak tangga ke atas Jajaghu. Memaknai hidup menuju puncak. Tak mungkin sendiri. Aku harus menjemputmu. Sang Stri Nareswariku.
Pra Tumapel. Itulah yang kulihat dibalik pintu itu. 1000 tahun yang lalu dari sekarang. Jajaghu menghilang. Karena aku berada di suatu tempat yang tidak asing bagiku. Aku dilahirkan disini. Sukun.
Buah bulat yang lezat saat digoreng. Hutan sukun nan rindang. Jalanan antara dua ruang waktu yang berbeda. Antara ini kekinian. Dan ini dahulu.Â
Aku merasa lelah dan duduk dibawah pohon sukun besar itu. Hingga kumelihat iring iringan besar pasukan berkuda. Dari arah selatan. Dipimpin seorang gagah perkasa.
Dialah Sri Maharaja Jayamerta. Aku berdiri dan memberi hormat pada beliau. Sang Maharaja yang baru saja mengukuhkan desa Sukun menjadi daerah sima yang bebas pajak.Â
"Selamat Datang Ananda, kau datang dari 1000 tahun yang akan datang." Sapa Sri Maharaja Jayamerta ramah. Aku ternyata datang di tahun 1083 saka. Atau tahun 1161 Masehi. Inilah masa Pra Tumapel. Saat desa sukun mendapat anugerah.
"Kelak kau dilahirkan disini anandaku" kata sang Raja, sambil menepuk pundak ku.