Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Curhatan dari Dapur

12 November 2021   15:21 Diperbarui: 12 November 2021   15:51 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Curhatan dari dapur dokpri

November 2021. Sudah sebulan ini dapur bergejolak. Gorengan langka, karena harga minyak goreng naik. Bisakah tanpa minyak goreng? Harus ada. Berapapun harganya, harus terbeli. Dan penguasa dapur bersungut.

Terlalu panjang jika dibahas di dapur. Tentang turunnya kapasitas produksi sawit dunia. Tentang eksport nasional. Sekarang memang jayanya petani sawit. Tapi menangisnya ibu ibu konsumen di dapur.

Minyak goreng harus ada. Salah satu unsur tentang bahan baku masakan. Dan itu soal makan. Karena hidup butuh makan. Dengan makan, kita bisa menghilangkan rasa lapar. 

Dan perdebatan didapur, terasa tambah panas. Sudah lapar, tak ada yang dicamil. Uang belanja tetap, harga naik. Yang dibutuhkan tak terbeli. Kalau mencari salah, gampang disulut. Jadilah panggung pertengkaran, karena minyak goreng naik.

Makanan, memang satu tradisi yang tumbuh dalam sejarah. Seandainya manusia tak makan, mungkin sudah punah sejak dulu. Tak perlu jauh melihat. Tradisi makanan juga tercatat dalam literasi Indonesia. Prasasti.

Jejak makanan di masa kuno ternyata tertulis di Prasasti Taji (901 M), Prasasti Watukura (902 M), dan kitab Negarakertagama (1365 M)

ada cerita tentang beras, tahu, ikan, dan dendeng yang ketika dipadukan dengan bumbu akan menghasilkan ragam makanan terolah seperti sambel, pecel, dan lainnya.


Hingga akhirnya pengaruh asing masuk dan tercipta boga pada masa kuno. Dan terbentuklah selera dan citarasa baru. Masakan digoreng. Dan tentu tentang minyak goreng.

Menurut Rafles, Reindwart, Crawfurd, dan naskah kuno "Serat Centhini",  makanan khas Indonesia seperti le-meng (lamang), tempe, dan jangan tomis (sayur tumis) telah ada sejak masa silam.


Jika sebelumnya pewarisan resep makanan diwariskan secara lisan, maka selanjutnya pewarisan resep makanan dilakukan dengan menulisnya ke dalam buku masak. Inilah awal mula perkembangan buku masak dan ilmu makanan di Hindia Belanda yang diawali dengan kemunculan buku masak pertama, yaitu kokki bitja (Conelia,1857) diiringi dengan kemunculan Oost-Indische Kookboek (anonym, 1866), Indisch kookboek (Gerardina Gallas Haak Bastiaanse,1872), Boekoe Masakan Baroe (Johanna, 1896), dan Groot nieuw volledig Indisch kookboek (Cateniusvan der Meijden).

Dari publikasi buku-buku masak sejak kurun waktu abad ke-19 hingga awal abad ke-20 itu, berkembang sebuah konsep kuliner kawasan yang oleh para gastronom masa itu disebut dengan istilah Indische keuken (kuliner Hindia). 

Melalui Indische keuken beberapa penulis buku masak melakukan kategorisasi resep berdasarkan kelompok sosial di tanah koloni. Misalnya, penulis Oost-Indisch kookboek (1870) mengelompokkan resep dengan kategori "makanan Belanda" (Hollandsch eten)
dan "makanan Bumiputera" (Inlandsch eten).

Ternyata diskriminasi juga ada dalam makanan dalam masa penjajahan. Dan pribumi yang tanahnya dirampas dan dijadikan boneka pekerja paksa ini jadi disebut inlander. Dihinakan sebagai sapi perah diatas tanah milik bangsanya sendiri. Memang Pengelompokkan ini menyiratkan usaha untuk memurnikan resep-resep bercitarasa Eropa agar tidak bercampur dengan resep-resep Bumiputera.


Meski kenyataannya, resep-resep bercitarasa Tionghoa, India, Arab dan Bumiputera dimasukkan dalam kategori resep Eropa setelah tentunya dimodifikasi oleh penulis resep agar sesuai dengan selera orang-orang Eropa.

Hal itu menunjukkan bahwa dari praktik gastronomi Indische keuken terjalin hubungan yang saling mengenal, mengolah, dan menerima kuliner antarbangsa.

Misalnya saja penulis buku-buku masak mengenalkan resep-resep Bumiputera seperti aneka olahan nasi, sate, kari, soto, rawon, dan sambal kepada para pembaca Eropa; sebaliknya para pembaca dari kalangan Jawa dan Melayu diperkenalkan resep-resep membuat soep, huzarensla, frikadel, beefstuk, poffertjes, roti, nastaart, kaastengels, dan klapertaart.

Memasuki dasawarsa 1940-an, pamor Indische keuken mulai meredup. Selain masa-masa sulit (Malaise), masa Pendudukan Jepang (1942 -- 1945) memunculkan dekolonisasi terhadap berbagai budaya Belanda di Indonesia.

Jepang melalui Hodoka (lembaga yang mengawasi penerbitan media) sangat ketat dalam menyensor layak atau tidaknya media apa pun terbit. Termasuk sensor kepada Buku-buku masak yang memuat citra selera Eropa.

Termenung lagi tentang minyak goreng. Harus ada. Bagaimanapun caranya harus ada didapur. Konon Memang saat ini masa jayanya petani sawit. Teman yang baru datang dari Sumatra bercerita tentang para petani yang tiba tiba jadi sultan. Tentu mereka petani yang punya lahan. Yang buruh, ya tetap buruh.

Ya semoga kenaikan minyak goreng ini bukan karena ulah spekulan. Timbun barang, untuk keuntungan pribadi. Semoga harga harga kebutuhan kembali stabil. Sejak pandemi ini, cari penghasilan juga sulit. Dan lebih merana jika urusan dapur ikutan terguling.

Diskusi di dapur, 12 November 2021

Oleh Eko Irawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun