Tentang senja yang memerah. Sore menjelang petang hari itu. Saat lelah tubuh ini, menunggu lantunan gema magribmu. Dalam naungan gubuk. Dan nyamuk nyamuk yang nakal. Membisik telinga. Cerita mencari mangsa. Mengorbankan darahku. Untuk santapan kehidupannya. Biarkanlah. Aku ikhlas.
Mungkin langit akan merekam. Betapa galau hati ini. Menangis yang tak perlu. Karena aku akan ditertawakan semesta. Lelaki macam apa diri ini. Ketika titik air mata. Membasuh resah hati. Namun aku sudah tak kuat. Memikul sendiri kisah ini. Dalam jejak lampau yang diputar balik.
Saat bersandar ditiang bambu. Lelah sebenarnya diri ini. Kuajak mengembara yang tak jelas. Pulang bukan untuk istirahat. Pergi tapi memaksa. Pasti tubuhku ini menjerit kesakitan. Dia pasti protes, karena jalan ini begitu ribet. Dan jiwa ini terus saja menyala. Dalam rasa yang berbaur. Memaksa agar cepat usai.
Aku sebenarnya tak mau berlama lama. Semakin tertunda, akan semakin sakit. Tuntutan bukti bukti yang kau pinta, tak kuasa kuwujudkan. Katamu itu janji, dan semua sudah digebyah Uyah. Rejeki itu dari Allah. Bukan aku yang menetapkan. Aku bisa apa. Karena ini tawar menawar. Yang tak bisa dijelaskan kapan. Jadi bukan aku yang menunda. Tapi keridhoanNya. Itu yang tak kau mengerti. Maumu instan. Secepat kilat.
Jujur, sejak kau pergi, aku musnah dalam kesepian. Hidupku hampa. Kosong tiada rasa. Memang ragamu masih ada. Tapi jiwamu sudah pergi. Bersamanya. Dan itu, sangat menyakitkan.Â
Detik detik menuju senja. Menuju malam dalam gemerlap bintang. Rona merah melukis langit senja ini. Dan aku menunggu bidadari langit merah. Sang pengganti. Penyemangat ku.
Sekuat apa aku, aku bukan siapa siapa. Ternyata aku lemah. Sangat lemah. Apalagi aku sudah kau padamkan. Tapi kau tuntut bukti bukti. Sementara diri ini sudah sangat tersakiti. Dalam duka yang tiada obat. Lalu kemana cintamu. Kemana sayangmu. Ketika kau bilang tresnaku adalah tai. Siapa sebenarnya yang tahi. Karena dirimu sudah melampaui batas.Â
Duhai bidadari langit merah, datanglah. Jemputlah aku secepatnya. Karena aku butuh ditemani. Melalui malam malam panjang. Kaulah yang bisa menolongku. Membakar semangatku. Agar kembali merona. Karena kaulah bidadari penyemangat, membangunkan diri ini yang sekarat. Agar kembali hidup. Dan melanjutkan nafas nafas baru penuh harap.
Duhai bidadariku, kau bukanlah pelakor. Tak perlu khawatir. karena bukan dirimu yang menyebabkan carut marut ini. Kau datang sebagai jawaban. Kau dikirim Tuhan setelah aku dikhianati. Dan kaulah yang datang dikirim semesta.
Senyum bidadari merah. Kaulah penyemangat jiwa yang sekarat. Kau datang dari langit. Kiriman semesta. Jawaban atas doa doa. Penolong yang hadir, saat sepi telah membunuh. Dan aku kesepian.Â
Datanglah panggilan magrib. Semoga drama ini cepat usai. Karena aku tak sanggup melalui malam sepi. Sudah terlalu lama diri ini disakiti. Jiwa ini dibully. Dikhianati. Saat diri ini jadi tersangka. Dalam rekayasa. Jujur bukan aku, tapi kenapa diri ini yang harus jadi dalang. Padahal sudah jelas siapa dibalik apa. Dan itu sangat jelas. Masihkah dicari cari. Tak cocok, ya pergi saja. Semua bisa diatur. Tanpa sandiwara.