Kutulis puisi. Dalam baris kata. Tak peduli tak dibaca. Tak peduli tanpa apresiasi. Tak viral tak apa. Tapi ini caraku. Menjadi diri sendiri.
Teruslah menulis. Teguh berkarya tanpa lelah. Sekalipun hanya sampah. Tapi kutahu. Tak semua orang bisa. Banyak yang omdo. Omong doang. Tapi kosong melompong. Pandai menilai, belum tentu dahsyat menulis karya.
Jadi diri sendiri itu tantangan. Kadang aku bertarung dengan diriku. Sibuk menilai diri. Jadi rekam buih buih fiksi. Rangkaian diksi. Menelusuri kepekaan nurani. Tentang asmaraloka sang pujangga cinta sejati.
Ini lebih baik. Daripada ghibah. Aku sibuk dengan diri. Daripada menohok orang lain. Tapi tak mampu introspeksi.Â
Lembar lembar asmaraloka. Tak bermakna. Kesepian hati ditinggal kekasih. Untuk apa memuja dendam, bikin hidup meredup suram. Dalam sesal.
Aku ditertawakan. Padahal aku tak lucu. Aku disepelekan, tapi ini diriku. Aku tak Sudi jadi orang lain. Karena hidupku, duniaku.
Hanya secuil harap diujung usia. Datanglah bersamaku kekasih. Aku ingin buang semua duka. Bersamamu dalam asmaraloka. Milik kita sendiri. Karena hidup terlalu mahal, untuk diisi pahit.Â
Menuju lembar baru. Dalam pertarungan makna. Bukan kalah menang. Tapi jalan asmara ternyaman, tanpa dendam. Agar hidup, lebih hidup. Dengan cinta.
Malang, 21 April 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H