Jujur, siapa mau hidup terlantar. Menyusuri jalanan. Tak tau arah. Hanya untuk mencari rupiah. Untukmu. Tapi kau tak pernah syukuri. Bilang kesemua orang, hidup sengsara tak bahagia.
Lelahku tak terhingga. Hasilku tak kau hitung. Diberi banyak habis. Lalu aku Dicambuk lagi, agar cari lagi. Alasanmu ini tanggung jawabku. Tapi mana hakku? Mana cintamu? Jika saat nikmat untuk dia? Sang arjunamu?
Jadilah aku lelaki bodoh. Menanggung karma setinganmu. Demi puasmu balas dendam. Gembira ria diatas tangisku. Untuk membela dia, bajingan yang lebih baik dariku.
Puisi gelap. Orang tersakiti. Seharusnya kau bertanya. Padaku. Duduk berdua. Bukan duduk dengan lelaki bangsat. Tak sadarkah kehormatanmu sudah dilecehkan. Kenapa kau memulyakan dia? Sementara aku kau perah.Â
Saatnya harus pergi. Karena bersamamu hanya tambah sakit. Tambah gila. Dibahas hanya bikin masalah. Tak dibahas, menambah masalah. Sungguh hebat bisikan sang pembisikmu. Dan dia yang kau bela, bukan aku.
Pergiku bukan lari. Silahkan Galang semua manusia, untuk memusuhi aku. Ciptakanlah dusta dusta baru jika itu buatmu bahagia. Aku sudah peringatkan. Kelak tak perlu menyesal, jika aku sudah pergi.
Tak perlu menyesal. Itu buah yang kau petik dari ulahmu sendiri. Aku bukan orang suci. Tapi perbuatanmu, melukai orang yang menjaga kehormatanmu. Apa Tuhan akan membela orang Dzolim?Â
Malang, 16 April 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H