Siapa mau kosong. Tak ada. Karena kosong itu sepi. Tersisih. Tak berarti. Tak dihargai.
Saat sudah habis. Semua tinggal kenangan. Hampa. Sedih jika yang lalu tak diakui. Seperti segelas kopi. Telah diminum, tapi tak dianggap pernah ada.
Bicara cinta memang rumit. Perasaan mengalahkan logika. Dendam mengalahkan cinta. Pernah ada, tapi dianggap sirna. Dalam bumbu kebencian. Diramu balas dendam. Yang tak masuk akal.
Jika kau butuh, kenapa kau musuhi aku. Itu membuatku tak semangat. Membuatku malas melangkah. Karena sikapmu, membunuh motivasi. Sadarkah?
Kau kosongkan semua. Dianggap tak ada. Tiada guna. Maumu menebar siksa. Agar puas membalas dendam. Kapok. Dan tertawa. Seolah itulah karma. Aku terima, tapi kau dapat apa?
Kepuasan semu. Rugi waktu. Jika tak butuh, pergi saja. Tapi kau nuntut bukti. Kapan terwujud, jika kau membuatku tiada semangat. Karena hanya sibuk bahas masa lalu, dan lupa besok mau apa.Â
Kosong. Kopi yang sudah habis, mengobati hausmu. Bukan kau rayu aku, tapi kau jatuhkan diriku. Dalam lubang putus asa. Padahal kau butuh. Terus maumu apa.
Jika maumu kosong, itu caramu habisi aku. Yang rugi dirimu sendiri. Kenapa bukan dengan senyum, agar diri ini rela. Ikhlas. Berjuang tanpa kesakitan. Tapi dendam kuasai warasmu.
Kau sangka aku dalang. Sang sutradara. Padahal caramu jatuhkan mentalku. Siapa mau sengsara, apa aku tak waras, ingin hidup ini terlantar.Â
Bukan aku, tentu saran pembisikmu. Yang kau bela, karena dia pilihanmu, demi dia, kau musuhi aku. Tak butuh aku, tapi kau tuntut bukti dariku. Siapa yang tak waras sekarang?
Malang, 6 April 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H