Â
Ini bukan sekedar omong kosong. Apa yang kubilang itu, kebenaran. Bukan karena aku puber. Atau aku nekad selingkuh. Dan yang pasti bukan kamu penyebabnya. Ini takdir cinta kita berdua.Â
Apa yang terjadi adalah pilihan. Keputusan untuk berpisah dengannya. Ada kisah disana. Dan bukan karena kamu, aku berpisah dengannya. Dan dirimu hadir karena amanat. Pesan terakhir almarhum ibuku.
Apa yang telah lalu, adalah ujian. Rumit berbalut dendam. Dipertahankan akan menambah sakit hati. Kamu hadir bukan sekedar pelarian. Tapi masa bersiap. Untuk hidup yang lebih berkah.
Kamu tak perlu ragu. Kamu tak salah. Kamu tak merebut aku darinya. Justru kamu yang menolong aku dari putus asa. Karena dia, sudah punya calon, jauh sebelum aku punya cintamu.
Kita yang jalani. Kau mungkin termakan omongan orang. Yang tidak tahu, duduk perkara. Mereka orang lain, ghibah tetangga, yang tak suka kita bahagia.
Cinta ini aku dan engkau. Cinta ini tentang aku dan amanat. Aku ingin taat pesan terakhir. Selama ini, aku melawan titah. Semua terwujud. Aku berjuang untuk doa terbaik. Karena inilah pesan terakhir. Yang tak bisa ditawar. Yang tak bisa dirubah. Dan bukan rekayasa manusia. Inilah jalan takdir.
Terimalah cintaku. Cinta dalam setangkai anggrek. Yang mekar untuk menghias kisah. Yang tumbuh diantara luka. Masa lalu pedih harus ditinggal. Menuju berkah cinta bersamamu. Restu ini mahal, karena ini bukan dolanan. Ini bekal pengantar, doa tulus ibu yang telah meninggal.Â
Ibuku, ingin aku bahagia. Ini bukan mengada ada. Ini rahasia. Tak perlu didebat dengan drama. Tak perlu dipertentangkan. Tak perlu diputar balik. Tak perlu dipertanyakan. Apalagi diragukan. Dan waktupun mengantar kita, menuju kisah terindah. Bersamamu.
Malang, 12 Maret 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H