"Penulis harus bisa terpapar halu, menjadi diri orang lain. Merasakan apa yang mereka rasakan. Mengimpresikan makna tanpa batas, tidak sekedar meliputnya dari Luar."
Terima kasih Kompasiana, sekalipun dari proses menulis ini belum membuahkan freedom Financial, artinya saya pribadi belum pernah merasakan bagaimana rasanya terima gaji dari proses menulis ini, tapi di kompasiana saya dapat tempat untuk mengekspresikan diri. Belakangan saya tengah terpapar halu, karena saya tertantang dengan dunia puisi, ranah dunia fiksi.Â
Puisi melatih intuisi jiwa dan ketrampilan susun kataÂ
Penulis memang harus mampu mengeksplore dirinya. Salah satu cara memperbaiki kualitas dari konten yang dibangun adalah belajar melatih intuisi jiwa dan ketrampilan susun kata. Ini penting, karena kita bicara bukan dengan suara, tapi dengan tulisan yang dibaca orang lain. Susun kata menjadi karya adalah kemampuan yang harus dimiliki penulis. Ketajaman dan kepekaan penulis harus diasah, agar tulisan yang dibuatnya sarat makna dan mampu menginspirasi orang lain.
Puisi adalah kawah candradimuka para penulis. Jika diflashback ke belakang, tema tulisan pertama saya di Kompasiana adalah puisi. Itu bisa jadi tonggak awal proses, bahwa mati ide bisa disembuhkan dengan menulis puisi.Â
Memang bisa? Buktinya pengalaman pribadi saya. Tapi jujur, tak semua penulis, lihai menulis puisi. Menulis puisi lebih sulit dibanding menulis artikel lain. Pilihan kata dan segala teknis didalamnya benar benar harus fix. Apalagi harus benar benar sakau dengan tema yang ditulisnya itu. Penjiwaan harus masuk dalam bait bait kalimat. Proses sakau inilah akibat terpapar Bali saat nulis tema tertentu dalam puisi. Sakau adalah proses halusinasi fiksi yang dituangkan dalam setiap kata kata. Seolah sepele tapi itu perlu belajar dan pendalaman. Silahkan dicoba dan temukan passion menulismu.
Merasakan Rasa dari Tema yang ditulisÂ
Hal paling penting dari proses menulis puisi adalah penjiwaan sang pujangga merasakan rasa dari tema yang ditulisnya.Â
Banyak yang bilang, puisi mah, gampang. Bagi saya iya. Karena otak saya sudah terpapar akut dengan puisi. Tapi bagi yang lain? Sulit lho. Karena ini bukan matematika. Dibutuhkan kembara jiwa, menembus ruang dan waktu untuk merasakan rasa. Jika rasa itu ada didirimu, mudah. Kadang rasa itu ada didiri orang lain. Bahkan saat saya harus berimpresi menjadi kucing yang dibuang tuannya dan harus hidup bersama siput diatas daun, bagaimana rasanya. Sakau terpapar halu jawabnya.Â
Baca puisi saya sbb : Dunia diatas Daun. Saat menulis ini, saya merasakan betapa menjadi kucing yang terbuang itu juga sedih, dan untuk memperoleh rasanya, saya harus mengikuti kehidupan kucing yang terbuang. Melihat kehidupan kucing liar ditempat yang baru. Seperti kisah anak Kucing: disekolahkan ini.
Terkadang saya harus kererimbunan rumput liar hanya untuk mencari ulat dan menulis puisi Ulat yang tak mau dipersalahkan. Totalitas adalah kunci seorang penulis puisi. Terkadang saya harus keluar dari lingkar kehidupan keramaian hanya untuk menulis Kesepian berteman Roti.
Di awal proses menulis saya, saya nulis dahulu apa yang ingin saya tulis. Namun totalitas saya menulis, sangat tidak terasa kekuatannya, karena saya melampirkan foto karya orang lain yang saya ambil dari google images. Seperti kehilangan ruh.Â
Belakangan saya mencoba belajar seni fotografi ponsel dan mulailah berburu foto.Â
Semakin jauh mengeksplore dunia fotografi, saya menemukan passion baru proses menulis saya. Biarkan foto yang bercerita. Dulu nulis dulu baru cari cover foto, sekarang hunting foto dulu baru menulis makna apa dari foto tersebut. Ini lebih asyik, karena foto ternyata bisa bercerita.Â
Masih banyak angan angan saya untuk meningkatkan kapasitas saya menulis puisi, tunggu inovasi saya selanjutnya.
Semoga artikel ini menginspirasi.
Malang, 8 Februari 2021
Oleh Eko Irawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H