Saya sangat tergelitik dengan postingan teman saya dimedia sosialnya, Facebook, dia menulis begini :
"Dalam makna sesungguhnya engkau adalah representasi figur maha ksatria dari masa lalu,
Legendamu pun abadi sepanjang masa,
Kau kelihatan gagah dan lincah dalam pagelaran tari Reyog Ponorogo bersama figur ksatria lainnnya,
Kini kau ku temui menari sendirian demi memperjuangkan hidup sebuah keluarga,
Sama seperti para patih yang menjadi ujung tombak pertahanan dan keamanan kerajaan di masa lalu,
Begitulah sebenarnya sekecil apapun warisan budaya memiliki daya atau kekuatan bagi kehidupan masa kini,
Terima kasih sudah ikut dalam melestarikan warisan budaya,
Aku tak hanya terhibur namun juga terkagum semoga kelak program pemajuan kebudayaan telah berhasil dengan maksimal melalui keterlibatan mereka."
Trenyuh rasanya, tapi inilah kondisi seniman, harus turun dijalanan sebagai pengamen, untuk bertahan hidup. Foto diatas ada di perempatan UGM Jogjakarta. Hal serupa juga saya jumpai di malang dan sekitarnya. Menari sendiri atau dengan beberapa orang secara berkelompok. Seharusnya mereka punya panggungnya sendiri. Saatnya nasib seniman juga dipikirkan dan diberi tempat, agar nasib kesenian asli Indonesia punya tempat di negerinya sendiri. Saatnya pemajuan Kebudayaan memberi tempat keterlibatan mereka.
Tarian seperti ini, ternyata punya akan sejarah yang panjang. Berikut ulasan sejarahnya.
Raja Airlangga memiliki seorang putri yang bernama Dewi Sangga Langit. Dia adalah putri kediri yang sangat cantik. Pada waktu itu banyak sekali yang melamar, maka dia mengadakan sayembara. Pelamar-pelamar Dewi Songgo Langit semuanya sakti. Mereka sama-sama memiliki kekuatan yang tinggi. Dewi Songgo Langit sebenarnya tidak mau menikah dan dia Ingin menjadi petapa saja. Prabu Airlangga memaksa Dewi Songgo Langit Untuk menikah. Akhirnya dia mau menikah dengan satu permintaan. Barang siapa yang bisa membuat kesenian yang belum ada di Pulau Jawa dia mau menjadi suaminya.
Ada beberapa orang yang ingin melamar Dewi Songgo Langit. Diantaranya adalah Klono Sewandono dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong Dari Blitar, kalawraha seorang adipati dari pesisir kidul, dan 4 prajurit yang berasal dari Blitar. Para pelamar bersama-sama mengikuti sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit. Mereka berangkat dari tempatnya masing-masing ke Kediri untuk melamar Dewi Songgo Langit.
Dari beberapa pelamar itu mereka bertemu dijalan dan bertengkar dahulu sebelum mengikuti sayembara di kediri. Dalam peperangan itu dimenangkan oleh Klana Sewandono atau Pujangganom. Dalam peperangan itu Pujangganom menang dan Singo Ludoyo kalah. Pada saat kekalahan Singo Ludoyo itu rupanya singo Ludoyo memiliki janji dengan Pujangganom. Singa Ludoyo meminta jangan dibunuh. Pujangganom rupanya menyepakati kesepakatan itu. Akan tetapi Pujangganom memiliki syarat yaitu Singo Barong harus mengiring temantenya dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.
Iring-iringan temanten itu harus diiringi oleh jaran-jaran dengan melewati bawah tanah dengan diiringi oleh alat musik yang berasal dari bambu dan besi. Pada zaman sekarang besi ini menjadi kenong. Dan bambu itu menjadi terompet dan jaranan.
Dalam perjalanan mengiringi temantenya Dewi Songgo Langit dengan Pujangganom itu, Singo Ludoyo beranggapan bahwa dirinya sudah sampai ke Wengker, tetapi ternyata dia masih sampai di Gunung Liman. Dia marah-marah pada waktu itu sehingga dia mengobrak-abrik Gunung Liman itu dan sekarang tempat itu menjadi Simoroto. Akhirnya sebelum dia sampai ke tanah Wengker dia kembali lagi ke Kediri. Dia keluar digua Selomangklung. Sekarang nama tempat itu adalah selomangkleng.
Karena Dewi Songgo Langit sudah diboyong ke Wengker oleh Pujangganom dan tidak mau menjadi raja di Kediri, maka kekuasaan Kahuripan diberikan kepada kedua adiknya yang bernama Lembu Amiluhut dan Lembu Amijaya.Â
Setelah Sangga Langit diboyong oleh Pujangganom ke daerah Wengker Bantar Angin, Dewi Sangga Langit mengubah nama tempat itu menjadi Ponorogo Jaranan muncul di kediri itu hanya untuk menggambarkan boyongnya dewi Songgo langit dari kediri menuju Wengker Bantar Angin. Pada saat boyongan ke Wengker, Dewi Sangga Langit dan Klana Sewandana diarak oleh Singo Barong. Pengarakan itu dilakukan dengan menerobos dari dalam tanah sambil berjoget. Alat musik yang dimainkan adalah berasal dari bambu dan besi. Pada zaman sekarang besi ini menjadi kenong.
Untuk mengenang sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit dan Pernikahanya dengan Klana Sewandono atau Pujangga Anom inilah masyarakat kediri membuat kesenian jaranan. Sedangkan di Ponorogo Muncul Reog. Dua kesenian ini sebenarnya memiliki akar historis yang hampir sama. Seni jaranan ini diturunkan secara turun temurun hingga sekarang ini.
Memperhatikan sejarahnya dimasa lalu dan kondisi kekinian, sudah selayaknya pemajuan kebudayaan memberi tempat berkarya nyata pada seniman yang tetap melestarikannya hingga kini.
Semoga Artikel ini menginspirasi.
(Bersambung)
Malang, 2 Februari 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H