Ini bukan dua ribu dollar. Ini Rupiah. Dan diberikan dengan tangan kiri. Lalu diusir. Disuruh pergi.Â
Menangis. Ini tidak bohong. Anakku kelaparan dirumah. Tapi kejujuranku tidak dipercaya. Seolah ini curhat pendusta.Â
Aku datang baik baik. Tapi ceritaku tak dianggap. Orang miskin memang tidak dihargai. Apalagi ditolong. Melihat saja jijik. Apalagi memberi pinjaman.
Balada orang cari hutangan. Dihina. Direndahkan. Dicaci maki. Keliling dari rumah ke rumah. Tapi diusir. Dilarang kembali lagi.
Ketika lelahku dihargai sekelas pengamen. Disyukuri saja. Tapi sungguh terlalu rasanya. Mau menuduh, dicap prasangka. Suudhon. Tapi sihir siapa penyebabnya.Â
Tetap saja diri ini yang salah. Sudah menderita, dituduh dalang sang sutradara. Penyebab hidup menderita. Korban dijadikan tersangka. Apa daya.Â
Pulang ke rumahku sendiri, jadi bencana. Dituduh seribu dusta. Ditolak, jadi pertengkaran. Diterima, bukan aku penyebabnya. Sudah tak didukung, tapi dihina.
Lelah sudah hari ini. Aku pasrahkan saja. Doa orang susah Diijabahi Yang Kuasa. Kau memang dibela manusia. Silahkan. Tapi apa Tuhan merestui pembenaranmu itu?
Kisah dua ribu ini pelajaran. Hinaan. Dilecehkan. Tapi ini lebih mulia. Dibanding dalang dari semua ini. Sang Arjuna yang selalu kau bela. Dengan segala cara.Â
Tangis ini. Duka ini. Sakit ini. Aku Berpasrah. Aku tak membalas. Silahkan saja menari ceria. Kau puas. Kau menang. Kau gembira. Karena itu maumu bersamanya, agar aku terhina. Berbahagialah diatas semua dusta.
Malang, 31 Januari 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H