Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pahitnya Inlander: Mindset Warisan Kolonial

19 Januari 2021   13:26 Diperbarui: 19 Januari 2021   13:59 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pahitnya Inlander, olahan pribadi foto cas oorthuys Nederland indie foto museum 1947

Oleh sebab itu, wajar Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun menyerap kata inlander sebagai sebutan ejekan bagi penduduk asli di Indonesia oleh orang Belanda pada masa penjajahan. Buktinya, dapat melirik ke zaman awal Belanda menaklukkan Jayakarta dan mengganti menjadi Batavia pada 1619.

"Gubernur Jenderal VOC (1619-1623 dan 1627-1629), Jan Pieterszoon Coen sangat menyenangi orang Cina, yang dinilai rajin, tidak kenal lelah, dan sangat terampil. Dan, ia menganggap rendah pribumi, yang dikatakannya malas, tak mudah diatur, dan tidak dapat dipercaya," ungkap Alwi Shahab dalam buku Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2002).

Boleh jadi pendapat Coen terkait pribumi ialah yang paling dikenal. Namun, jauh sebelum Coen, pandangan yang merendahkan orang Indonesia sudah dimulai pada dekade pertama abad ke-17. Alkisah, orang eropa yang selalu terancam akan kehilangan nyawa dan harta ketika berada di bumi Nusantara menjadi penyebabnya. Buahnya, mereka menyebut orang Indonesia sebagai inlander.

Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1961), mengungkap seorang penjelajah Inggris bernama Edmund Scott disebutkan telah banyak menulis terkait pengamatan akan penduduk lokal di Banten pada 1603-1665. Dalam catatannya, Scott menyamaratakan orang Indonesia malas-malas. "Mereka semua miskin, karena mereka punya banyak budak yang bahkan lebih malas daripada tuan mereka, dan yang makan lebih cepat daripada pertumbuhan lada dan beras mereka."

Tak hanya itu, Scott pun mengungkap di Banten perkara intrik, rencana jahat, maupun pembunuhan adalah hal yang biasa terjadi. Maka, Scott terkesan terburu-buru menarik kesimpulan, jikalau masyarakat lokal semuanya jahat.

Anggapan tersebut kemudian menjalar kepada pedagang Belanda yang datang pada waktu tayang yang sama dengan Scott, mereka yang tak mengerti bahasa dan adat istiadat orang Indonesia ikut-ikutan tak mempercayai dan menganggap rendah orang Indonesia.

Mentalitas inlander

Meski telah memahami sebutan inlander atau pribumi merupakan sebuah ejekan. Pada saat itu, anehnya sebagian orang tetap menganggap bangsa Belanda dan Eropa sebagai bangsa yang berkelas dan hebat daripada bangsa Indonesia. Setali dengan itu, sebagian orang Indonesia turut beramai-ramai ingin bekerja seperti Belanda, Sekolah seperti Belanda, dan berbahasa seperti Belanda.

Tak heran, muncullah yang namanya mentalitas inlander. Mengutip Mustakim dalam tulisan berjudul Inlander (2019) di Majalah Tempo. Mentalitas inlader ialah kalimat yang tepat dalam mendeskripsikan kondisi orang Indonesia yang terlalu mendewakan bangsa Belanda, sehingga mereka ingin mencoba mensejajarkan diri dengan hidup ala Eropa.

"Dari situlah tampaknya mulai muncul bibit-bibit inferioritas, muncul sikap rendah diri, atau muncul mentalitas inlander, kehilangan rasa percaya diri sebagai suatu bangsa yang bermartabat. Sikap tersebut kemudian merasuk dalam diri sebagian besar bangsa Indonesia sebagai bangsa jajahan. Sikap rendah diri semacam itu lalu terwarisi dari generasi ke generasi hingga saat ini."

Selebihnya, Mustakim yang juga Kepala Balai Bahasa Jawa Timur menekankan akibat dari mentalitas inlander, sebagian di antara mereka telah kehilangan rasa pecaya diri pada kekuatan bahasa dan budaya bangsa sendiri. Parahnya lagi, apa pun yang dimiliki akan serasa kalah hebat, kalah nilai, dan kalah gengsi dibanding bangsa Eropa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun