Belakangan ramai kabar mengenai WNA yang dikecam netizen Indonesia lantaran mempromosikan Bali dan memberi tips cara mudah masuk Indonesia pada saat pandemi. Selain itu, WNA ini diduga tinggal di Bali tanpa izin yang jelas.
Memperbincangkan masalah WNA di mata WNI ini, jadi ingat sejarah masa penjajahan, dimana kita sebagai bangsa dianggap warga kelas rendah oleh warga asing yang datang menjajah bumi Pertiwi. Kita dianggap inlander.Â
Nenek saya almarhum, pernah bercerita pengalaman bagaimana dalam kondisi hamil harus mengungsi jauh dari daerah Sidoarjo hingga ke malang. Jalan kaki. Tanpa bekal. Lewat hutan, sungai dan tegalan. Sebentar bentar harus sembunyi jika ada patroli. Jika tertangkap patroli, di interogasi, seolah maling. Padahal yang interogasi itu Londo klaper.
Ini menarik minat saya untuk belajar lebih jauh siapa Londo klaper ini. Ternyata Londo klaper adalah sebutan sebuah batalion KNIL Belanda yang bertugas didaerah malang raya dengan simbul badge daun Semanggi. Claver badge. Uniknya, pasukan Belanda ini terdiri dari orang orang pribumi Indonesia yang pro penjajah.
Memori nenek saya semakin tajam saat melihat foto foto karya cas Oortuys yang keliling malang raya mengabadikan agresi militer Belanda sejak tahun 1947. Kenangan pahitnya jadi Inlander seolah melekat dalam ingatan nenek. Apa sih inlander itu?
Inlander adalah mindset warisan kolonial yang akan kita ulas lebih jauh dalam artikel yang saya olah dari voi.com berikut ini. Saatnya bangga menjadi bangsa Indonesia yang mensyukuri makna kemerdekaan dan bersikap nasionalisme. Semoga menginspirasi
Dalam perbincangan sehari-hari, kata pribumi bukanlah suatu istilah baru. Baik itu dalam tataran masyakat hingga pejabat, sering kali mendefinisikan orang Indonesia atau yang seperti tokoh bangsa HOS Tjokroaminoto sebut bumiputera, sebagai kaum pribumi. Otomatis, kata pribumi merasuk layaknya sebuah warisan kolonial rasis yang tetap lestari hingga hari ini.
Padahal, sejarah jelas-jelas mencatat kelahiran kata pribumi, tak lain lahir dari rahim penjajahan Belanda. Kala itu, Kompeni dengan percaya dirinya membuat kasta yang berwujud klasifikasi rasial penduduk di Hindia-Belanda. Sekilas, bentukannya tak seperti sistem kasta yang ada di agama Hindu. Sebab, Kompeni hanya membaginya ke dalam tiga tingkatan sesuai dengan Undang-Undang Kolonial tahun 1854.
Sebagaimana yang diungkap oleh Sejarawan JJ Rizal, isi dari UU menunjukan warga negara Hindia-Belanda nomor satu jatuh pada kalangan Europeanen atau orang-orang kulit putih Eropa. Warga negara nomor dua milik Kalangan Vreemde Oosterlingen --Timur Asing---yang meliputi orang China, Arab, India, maupun non Eropa lainnya. Dan warga negara nomor tiga, yakni inlander atau pribumi, yang mana di dalamnya termasuk pula masyarakat lokal, terlebih lagi mereka beragama islam.
Oleh karenanya, pembagian kelas dalam UU Belanda yang menempatkan Orang Indonesia menjadi warga negara kelas tiga, membuat kata pribumi menjadi tak memiliki keistimewaan. Itulah mengapa era kolonial menjadi pematik utama langgeng sindiran pribumi atau inlander "Narasi rasis deskriptif itulah yang secara sosial budaya masih eksis hingga hari ini."
Tak heran, Kamus Merriam-Webster, telah mencatat kata inlander sebagai istilah yang telah digunakan sejak tahun 1610. Berdasarkan kamus, istilah inlander terdiri dalam dua unsur, yaitu inland dan imbuhan --er yang bermakna "orang yang tinggal di inland." Sedangkan inland sendiri diartikan sebagai suatu wilayah yang mungkin semacam dusun, atau kampung.