Bagaimana dengan sahabat sahabatku? Tentunya kemampuan mata tidak separah aku, seharusnya malu dong tidak baca buku walau hanya selembar saja.
Perjalanan jadi penulis
Buku memang jendela dunia. Dulu sempat ada masa dimana inspirasi buku bukuku ternyata tiada guna. Kenapa? Saya mulai masuk dunia kerja. Tugasnya rutin. Dikantor itu, mengikuti prosedur. Inovasi baru tidak diakui. Bahkan dianggap menyalahi prosedur tetap suatu program. Saya pernah dipanggil bisa besar gara gara berinovasi, dibilangnya ngarang, sok tahu dan cari sensasi.
Kesempatan menulis saya juga pernah mati, gara gara dulu kirim naskah pakai mesin ketik dan kirim via pos tak ada yang yang diterima majalah atau koran. Dianggap gabetmut. Nggak bermutu. Padahal malam malam dulu ya tak tik tak tik. Mengetik naskah. Kirim dan kirim. Tapi tidak membuahkan hasil. Terima kasih semacam e-sertifikat sekarang, juga tak pernah saya dapat. Tiap gajian beli kertas dan pita mesin ketik. Bahkan sampai hutang sana sini gara gara kirim naskah hampir 2 rim.
Pengalaman buruk, tapi saya tidak menyesal. Karena itu proses pendewasaan saya. Biarkan itu jadi kenangan. Mungkin ketikan saya sudah jadi bungkus kacang. Sungguh apresiasi tinggi nasib penulis tak dikenal masa itu, yang mencoba peruntungan jadi penulis. Dan alhamdulillah gagal total. Padahal saat itu tak bela belain puasa dan tidak bisa ngajak jalan jalan pacar, demi beli kertas HVS buat ngetik.
Beruntung sejak 2018 saya bisa bergabung dengan Kompasiana. Walau sampai detik ini belum pernah dapat k reward untuk sekedar beli paket data buat proses menulis, namun apa yang saya rintis sejak kecil itu berbuah apresiasi. Soal hutang ya tetep saja. Dulu hutang buat bayar jasa pos. Sekarang hutang pulsa paket data buat beli smartphone dan amunisinya, agar dapat tetap menulis.
Ya begitulah saya. Sudah kadung Hobby, walau tak ada yang membayar saya dalam proses literasi ini, tapi saya masih bangga. Entah sekarang ada yang baca atau tidak, saya tetap menulis dan menulis. Siapa tahu amal literasi ini menginspirasi banyak pembaca. Amal ilmu pada orang tak dikenal, dan dari mereka melimpahkan pahala, sekalipun wujudnya bukan materi. Semoga. Karena kekayaan yang saya punya adalah ilmu hasil belajar ini.
Saya memang kembangkan ruang kelas alternatif dan curhat ngopi ditulisan tulisan saya. Juga ide sobo Embong dan keliling keliling ke kampung kampung tematik.Â
Dari segi materi, ya tetap tak ada. Hanya nambah kenalan baru, silaturahmi dan sejauh ini ya tetap berkarya maksimal berbasis hutang dan mbayar hutangnya bukan dari proses menulis. Ya, semoga ada solusi dari berkorban melekan tiap malam ini. Hasil pasti tak akan mengingkari usaha.
Perjuangan belum selesai dan semangat ini terus dipacu dengan cara berpikir besar. Setahun lalu ketemu teman SMP, yang sekarang bekerja di perusahaan asing. Dia tanya proses keempuanku menulis.
Dari segi finansial, saya dan dia bagi bumi langit. Dia bisa beli rumah diatas 1 m, punya jaringan toko komputer, mobilnya sport keren. Dompetnya tebal. Isinya kartu ATM dan kartu untuk ambil uang. Tapi saya, Alhamdulillah masih bisa makan seadanya. Rumah kontrak. Kalau habis masa kontraknya hutang kompensasi ke bank. Hingga 10 tahun masa pengabdian dinas saya, seluruh energi saya disitu untuk bayar bunga utang. Pensiun baru lunas. Sementara pertengahan tahun ini, soal rumah kontrakan saatnya bayar lagi atau kalau tak bisa harus move on pindah kontrakan lagi.Â