Dan duduklah ditepi langit biru. Melihat kembali, kepak kepak asa yang patah. Langkah yang sudah usang. Tentang makna yang hilang. Tak diakui. Telah dipungkiri.
Gemercik air merekam. Â Dulu yang salah. Dulu yang diputar balik. Dulu yang katanya janji. Kumpulan puzzle puzzle yang berkeping. Untuk benarmu. Untuk rasamu. Untuk caramu. Pembenaranmu sendiri. Seolah aku dalangnya.
Langit tak pernah dusta. Tapi ini tidak hitam. Tidak pula putih. Tiada berwarna. Karena harus aku yang dipersalahkan. Agar semua tahu, aku bejat. Aku laknat. Dan ramai ramai mengeroyok diriku dalam amarah dendam.
Aku diam, bukan aku tak tegas. Aku berdiam dalam renungan langit. Apa yang terjadi sekarang, hanya rancangan manusia. Walau disembunyikan, langit tahu. Walau misteri, air bisa merekamnya. Dusta dusta yang berbaju dewa.Â
Kan kubiarkan saja, sesukamu. Sepuas hatimu. Biar lega dan puas dendammu. Biar bangga dalang dari ini semua. Aku terima. Aku ikhlas.Â
Tapi yang kau bikin sengsara itu siapa? Untuk apa? Siapkah kau terima, hadiah atas semua ini? Hadiah keadilan langit.
Malang, 8 Januari 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H